hijau berarti jalan
kuning berarti naikkan kecepatan
merah berarti terobos
p disilang adalah tempat parkir
izin kemudi bisa dibeli
pilihan saat diberhentikan hanya ada dua
pilih sidang atau damai
sampai kapan kita dikangkangi?
apa mental kita sudah siap direvolusi?
2014
Thursday, December 25, 2014
Monday, December 15, 2014
Harapan Dibalik Kerapuhan
Langit menggelap. Tidak tahu gelap itu
karena sudah malam, ingin hujan, atau asap-asap pabrik. Sialnya rumahku bersebelahan
dengan pabrik-pabrik itu, asap-asap hitam itu selalu menghampiri rumah kami,
bahkan terkadang masuk ke dalam. Ayah dan Ibu menolak rumahnya dipindahkan,
dengan alasan rumah ini adalah tempat dari segala tempat, tidak akan
tergantikan, ayah dan ibu juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli
rumah yang layak. Keluarga kami adalah keluarga pekerja keras. Ayahku bekerja
sebagai buruh pabrik, ibu dan bibi Marie bekerja sebagai penjahit di pusat
kota. Akibat kerja keras mereka, mereka berhasil menyekolahkan aku dan
adik-adikku di pusat kota, tapi kami tidak satu sekolah. Adik-adikku menetap di
asrama. Beruntungnya adik-adikku, tidak tahu kapan mereka akan mengakhiri
hidupnya. Aku akan mengakhiri hidup dengan tempat yang sama dan keadaan yang
sama seperti ayah dan ibu, yaitu tempat tidur lusuh dan kanker.
“Alaska, pergilah...ambilkan aku air
putih yang banyak....“, Mulutku sudah susah berbicara.
“Banyak-banyak untuk apa?“
“Aku malu jika adik-adikku datang,
bibirku terlihat menyeramkan.“
Alaska, teman
sekolahku yang selalu marah kalau aku melarangnya datang ke rumah. Aku takut Alaska
berakhir seperti ini aku, ayah dan ibu. Alaska bilang aku tidak usah
melarangnya, dia tidak suka hal-hal yang ia inginkan dilarang. Setiap pulang
sekolah Alaska selalu datang menggunakan masker khusus. Kami sudah menyatakan
perasaan masing-masing. Aku cinta Alaska, Alaska cinta aku. Tapi kami sepakat
untuk tidak ada ikatan, ikatan hanya akan membuat kami tidak senang. Oh kami
rindu saat-saat kami membaca buku bersama di taman sekolah, saat aku belum
rapuh.
“Adik-adikmu tidak
akan seperti itu, mereka akan datang membawa roti-roti buatan terbaik pusat
kota.“
“Apa kamu sudah
mengingatkan adik-adikku untuk memakai masker saat berkunjung kesini?“
“Sudah, kamu tidak
usah cemas.“
“Alaska, apa kamu tahu lagu What A Wonderful World? Bisa kau
nyanyikan untukku?“
“Apa yang tidak untukmu? Baiklah, aku
memulainya sekarang.
I see trees
of green, red roses too. I see them bloom, for me and you. And I think to myself, what a wonderful
world. I see skies of blue, and clouds of white. The bright blessed day, the
dark sacred night. And I think to myself, what a wonderful world…”
Sejak
kecil, aku sering dinyanyikan lagu itu oleh ibu. Lagu itu selalu spesial. Ada
harapan di lirik dan nadanya.
“Terima kasih, Alaska. Menurutmu, apa
penulis lagu ini menulis saat apa yang ia lihat?“
“Mungkin saja.“
“Kalau begitu, yang ia lihat itu tempatnya dimana? Bisakah
kita kesana?“
“Bisa, kalau kamu
sembuh. Kemanapun akan aku bawa. Kita akan mencari tempat dimana banyak pohon
hijau, mawar merah bermekaran dibawah langit yang cerah, lalu kita akan
bernyanyi sampai lelah dan terlelap.“
----
“Kami datang!“
Teriak Brown dan Lily, adik-adikku.
“Brown, Lily,
akhirnya kalian sampai disini juga, jangan lupa kenakan masker. Udara disini
tidak baik.“, Ujar Alaska.
“Maaf, aku dan Brown
lupa, kak Alaska.“, dengan sigap Lily langsung memakai masker, diikuti oleh
Brown.
Brown dan Lily, kembar tidak identik, mereka sudah besar. Aku hanya
melihatnya setahun sekali, setiap liburan naik kelas mereka selalu pulang.
Mereka membawakan roti dari pusat kota, yang sebelumnya roti ini selalu
dibawakan oleh ibu saat uang gajiannya turun. Mereka hebat, mereka berhasil
mendapatkan beasiswa dari walikota. Jadi, segala uang sekolah dan uang saku
ditanggung oleh pemerintah walikota. Aku terharu saat mereka bilang kalau mereka
membeli roti itu dari uang saku yang disisihkan. Aku jadi teringat ayah dan
ibu. Apa mereka sudah tinggal di bukit hijau dengan pepohonan dan bunga-bunga
di bawah langit yang biru?
“Kakak, bagaimana
keadaanmu?“ Tanya Lily sambil menatap seluruh badanku.
“Seperti ini saja, bahkan semakin buruk. Aku
semakin menyeramkan. Lihat, rambutku sudah hampir habis, badanku sudah layu
mengikuti pohon-pohon diluar sana. Chemotherapy
tidak membantu.”
“Jangan bilang begitu, kak. Kakak masih
punya harapan, kita masih punya harapan. Kami semua mau kakak sembuh dan bersekolah lagi
dengan kak Alaska.“
Aku cuma tersenyum. Tersenyum
memberi harapan pada adik-adikku dan Alaska, tapi tidak untuk diri sendiri. Sama
seperti ayah dan ibu saat itu. Tersenyum kepada kami.
“Brown, Lily. Bagaimana sekolahmu? Bagaimana
nilaimu?”
“Nilai kami semakin baik, kemarin Brown
berhasil memenangkan lomba debat biologi. Sepertinya dia akan menjadi dokter
dengan semua omongannya yang didebatkan itu hahaha.”, Ujar Lily.
“Lily terlalu melebih-lebihkan, kak! Kemarin
Lily dapat juara satu menulis esai di pekan ekonomi sekolah!”
Melihat mereka
berisik seperti itu, sepertinya aku mendapat harapan. Bukan harapan untuk
kesembuhanku, tapi harapan untuk masa depannya yang cerah, kota yang lebih
baik.
“Sudah, jangan
saling pamer seperti itu, aku kan jadi iri. Kalian ini akan menjadi orang-orang
penting di kota ini. Harapan-harapan orang kota akan dipegang kalian, maju atau
tidaknya kota ini tergantung kinerja orang-orang yang seperti kalian ini.“
Mereka terharu, mereka memelukku.
Aku dipeluk oleh tubuh-tubuh orang sehat. Seperti dulu saat aku memeluk ayah
dan ibu.
----
“Alaska, apa aku
akan sembuh dengan keadaan yang sudah seburuk ini?“
“Kamu akan sembuh,
percaya padaku. Aku akan tetap disini, bersamamu,
menjagamu. Aku sudah berjanji akan terus bersamamu sampai kamu sembuh.“
“Kalau aku sembuh,
apa kita bisa menikah?“
“Kesembuhanmu akan
menjadi persembahanmu untukku saat pernikahan nanti.“
“Tapi seandainya
penyakit ini tidak bisa disembuhkan, kamu ingin menikah dengan siapa? Kamu
harus bahagia, kamu harus menikah. Kamu akan menjadi ibu yang baik.“
Pertanyaanku terlalu mendalam,
Alaska menunduk dan menangis.
“Jangan tanyakan
itu, Matt. Jangan tanyakan itu lagi. Cukup.“
“Bagaimanapun juga,
kamu harus memikirkannya, setelah ini, setelah aku mati. Aku tidak mau kamu
sendirian. Lebih menyakitkan aku melihatmu sendirian sampai kamu mati daripada
menikah dengan laki-laki lain.“
“Cukup, Matt.“, Tangis Alaska semakin
terdengar, ia tidak dapat menahan lagi tangisnya itu.
“Sekarang, lihat
aku. Rapuh, botak, menakutkan, tidak ber……..”
Sesuatu dari badan menahanku
menyelesaikan omongan yang aku ingin keluarkan. Omonganku diselak oleh batuk
secara tiba-tiba. Batuk itu membuatku sesak, semakin sesak saat batuk itu
disertai darah merah segar keluar dari mulutku. Alaska panik, segera memasang
alat oksigen ke mulutku namun aku malah menyemprotkan darah ke alat itu yang
membuatku susah bernafas. Tangisan
Alaska semakin kencang terdengar, semakin panik, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tangisan Alaska terdengar oleh Brown dan Lily yang sedang di teras rumah.
“Brown, Lily!
Kakakmu batuk berdarah! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi!“
Dengan segera, Brown membersihkan
alat oksigen itu dengan lap dan membimbingku untuk tidak panik dan nafas
perlahan. Aku berhasil bernafas kembali dengan tenang, batuk itu hilang. Lily
membantu Brown dengan mengelap darah dari sekitar mulut dan badanku. Alaska
masih panik di sudut kamar dan tetap menangis, seperti ada rasa penyesalan karena
tidak bisa membantu apa-apa saat aku batuk-batuk tadi.
“Brown, Lily,
Alaska, tolong panggilkan bibi Marie untuk pulang ke rumah sekarang. Aku ingin
bicara.“
“Segera aku telepon.
Aku punya nomor tempat bibi Marie bekerja.“
Kami menunggu bibi Marie pulang ke
rumah. Perjalanan dari pusat kota ke rumah sebenarnya tidak jauh, tapi bibi
Marie harus menaiki bis yang rutenya selalu dilanda macet. Sekitar 2 jam bibi
Marie baru sampai.
“Oh, Matt. Kamu
sudah tidak apa-apa? Maafkan bibi Marie. Seperti biasa, jalanannya macet. Bibi
akan masakkan sup untukkmu, lalu kamu harus minum obat.“, bibi tergesa-gesa
karena panik melihat keadaanku.
“Tidak, bibi. Aku
tidak mau sup, aku tidak mau obat. Mereka tidak akan menolongku saat ini. Yang
aku mau adalah kalian berkumpul seperti ini.“
“Ada apa, Matt? Kamu
ingin ke rumah sakit sekarang? Kalau kamu mau, bibi dan yang lain akan
membawamu kesana.“
“Aku tidak mau ke
rumah sakit. Keuangan keluarga sudah tidak seperti dulu lagi.. Uang peninggalan
ayah dan ibu sudah habis karena biaya chemotherapy.
Sebelumnya, ayah dan ibu juga sudah banyak hutang karena pengobatan kankernya.
Aku tidak mau bibi berhutang lagi, sudah cukup. Bibi, Brown, Lily, dan Alaska
hanya perlu mendengarkan, lebih dari cukup. Semuanya, aku cinta kalian. Bibi....,
aku... mohon untuk menetap... di tempat lain. Jangan terus-terus menetap
disini, para orang kaya dan pabrik-pabriknya itu semakin.... jahat. Brown,
Lily, aku ....bangga pada kalian, bangga pada prestasi yang kalian peroleh.
Jangan lupakan... pesan... yang beberapa jam tadi aku beritahu pada kalian
tentang harapan. Jika.... kalian sudah mencapai... cita-cita yang kalian
inginkan, jangan lupa... untuk urus bibi Marie, bibi Marie akan ...semakin tua.
Kalian harus merawatnya.... seperti saat bibi Marie merawat kalian setelah ayah...
dan ibu... meninggal. Alaska...., jangan menangis terus. Sedih memang, aku....
tidak akan menikah. Tapi.... kamu harus... menikah. Sayang sekali perempuan
penyayang.... sepertimu tidak merawat anak. Laki-laki mencari perempuan yang
sepertimu, maka itu.... kamu harus pandai-pandai memilih laki-laki. Semuanya....,
aku berterima kasih.... karena sudah mau mendengarkan suaraku yang layu ini.
Aku sudah tidak tahan..... lagi. Badanku semakin sakit. Aku seperti menerima
beban berat, beban yang berat itu adalah........ meninggalkan kalian. Jika aku
harus.... dikubur besok, kuburkan... aku dengan pakaian warna-warni.... Supaya
orang-orang beranggapan kalau aku meninggal tanpa membawa duka lara.
Terakhir..bibi Marie..kamu tahu kan kotak bolong-bolong di gudang atas dekat
jendela....? Tolong ambilkan itu dan berikan pada Brown.....tolong.......oh
ayah, ibu...aku rindu kalian.....“
Nafasku semakin berat, pandanganku
mulai kabur. Tapi aku masih bisa melihat bibi Marie keatas gudang mengambil
kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ dan langsung memberinya kepada Brown.
Sepertinya mereka mulai menangis, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku
mulai tidak merasakan kakiku, aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Lalu perasaan
itu menjalar ke tangan, tanganku sudah tidak bisa digerakkan. Seluruh badanku
dingin. Apa nyawaku sedang di tarik? Dimana malaikat? Aku tidak melihat
malaikat disekitarku. Seketika gelap. Aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Semuanya gelap dan terasa hampa. Terasa dingin dan damai.
----
“Kalau aku boleh
tahu, isi kotak itu apa, Matt?“
“Kamu penasaran
sekali rupanya. Isi kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ itu adalah
tumbuhan yang aku rawat saat aku baru divonis kanker oleh dokter. Disitu aku
menuliskan Semoga. aku adalah orang terakhir yang mengidap penyakit ini. Ini
adalah harapanku dan semua penduduk kota ini. ”
“Wah ternyata itu
isinya. Apa disana pohon sangat langka, Matt? Rasanya aku ingin membawa
beberapa pohon di sini untuk disumbang ke tempatmu berasal.”
“Di tempatku,
pohon-pohon pada mati ditebangi karena pembangunan wilayah pabrik itu. Kalau
bisa begitu, aku juga ingin. Seandainya aku bisa mengirim surat kepada Alaska
kalau aku sudah tinggal di tempat yang banyak pepohonan, bunga bermekaran
dimana-mana di bawah langit yang biru. Pasti ia akan senang.”
“Sudahlah, Matt.
Kamu sudah memberi harapan pada mereka. Kamu harus percayakan mereka.”
“Terima kasih karena
sudah menghiburku. Sekarang, maukah kamu bantu aku mencarikan dimana ayah dan
ibuku tinggal?”
Thursday, December 11, 2014
Sanubari Mahasiswa Baru
pergi masih gelap
pulang sudah gelap
badan bau dan pengap
sampai di rumah tak sedikitpun mengucap
beginilah mahasiswa baru
rasanya ingin kejar gelar buru-buru
padahal baru semester satu
sudah seperti rusa diburu
masih malas berlari
sudah membayangkan skripsi
padahal buku catatan belum terisi
cuma duduk dan mulut terkunci
jalan masih panjang
masih banyak yang harus diterjang
masih banyak tugas yang mengekang
jiwa dan raga akan berperang
bersiaplah
demi ibu dan ayah
Agustus, 2014
pulang sudah gelap
badan bau dan pengap
sampai di rumah tak sedikitpun mengucap
beginilah mahasiswa baru
rasanya ingin kejar gelar buru-buru
padahal baru semester satu
sudah seperti rusa diburu
masih malas berlari
sudah membayangkan skripsi
padahal buku catatan belum terisi
cuma duduk dan mulut terkunci
jalan masih panjang
masih banyak yang harus diterjang
masih banyak tugas yang mengekang
jiwa dan raga akan berperang
bersiaplah
demi ibu dan ayah
Agustus, 2014
Wednesday, December 10, 2014
Abadi, Selamanya
“Tuhan, hari ini aku ingin melihatnya bahagia dan tersenyum. Apakah aku bisa
menyapanya hari ini? Aku ingin sekali. Tapi badan ini selalu gemetar takut.
Berilah aku kekuatan.”
Doa penutup pagi ini diucapkan
sungguh-sungguh olehku. Mungkin sudah beratus-ratus kali aku mengucapkan doa penutup itu, pokoknya aku
selalu berdoa seperti itu. Mungkin akan terus berdoa seperti itu, seperti ayam
yang tak bosannya berkokok setiap pagi. Aku Kaisar.
“Tuhan, hari ini saya ingin melihat meja belajar kelas saya bersih dari
segala bunga dan kertas berbentuk hati atau apapun. Kabulkanlah doa saya.“
Saya sudah bosan menutup doa dengan doa
yang seperti itu. Saya tidak seperti ayam yang tidak bosan berkokok seperti
pagi. Saya Rona.
“Ron, sudah selesai beres-beresnya? Ayo berangkat, sebentar lagi gerbang
ditutup.”
“Iya sebentar, Kai. Saya lupa membuat tugas menulis puisi yang harus
dikumpul hari ini. Semalam
saya kelelahan.“
“Aduh, Ron. Kenapa tidak bilang dari semalam? Ya sudah, buka folderku yang ada di desktop. Pakai puisi yang pernah aku
tulis di waktu senggang. Toh tidak bakal ketahuan. Ingat ya Ron, cuma sekali
ini saja.“
Aku suka menulis puisi dan
mendengarkan musik di waktu senggang. Mereka saling menginspirasi.
Saya merasakan lega
seketika dan sekaligus bersyukur karena mempunyai saudara yang baik. Kaisar suka menulis puisi yang terinspirasi
dari lirik lagu independen hasil eksplorasi internet. Kaisar selalu menunjukkan
lagu hasil pencariannya kepada saya dan meminta penilaian apakah lagunya enak
atau tidak. Saya dan Kaisar tinggal satu rumah, satu tempat.
Saya sampai di sekolah
tepat pukul tujuh. Gerbang hampir ditutup. Sampai di sekolah Saya langsung
memakai topi agar tidak ketahuan perempuan-perempuan. Saya berhasil menembus
kerumunan perempuan-perempuan itu, tapi apa daya ketika saya sampai di kelas, dengan
lantang saya berteriak kalau doa saya pagi ini tidak terkabul (lagi).
“Kenapa lagi sih Ron? Kamu pindah ke
sekolah lain pun hasilnya sama. Langganan surat dan bunga setiap hari.”,
celoteh Bulan.
Bulan, teman sekelas yang
tidak genit sama sekali. Ia duduk paling di depan di kelas. Kompetitor sehat
saya saat mengejar nilai. Rambutnya tergerai indah, tapi Bulan tidak sama
dengan perempuan-perempuan lain di sekolah yang saya sebut perempuan gatal.
Bulan tidak suka barang yang pasaran. Perempuan-perempuan gatal memakai tas
yang biasanya dipakai sosialita berkumpul untuk bahas arisan atau bisnis
mereka, tapi Bulan tidak. Bulan memakai tas punggung kulit hitam dengan ornamen
sayap di punggung tasnya. Yang lain memakai flatshoes
impor, Bulan memakai boots hitam
dengan merek dr.Martens. Saya yakin
yang membuat sepatu itu bukan dokter.
Ah, Bulan mendekat. Aku
gemetar. Aku penasaran ingin menatap matanya namun tidak sanggup, sepasang
matanya seperti matahari. Bulan, tolong menjauh dariku, menjauh tapi tidak
terlalu jauh, aku mohon.
----
“Ron, apa kamu menyukai Bulan? Kalian sangat dekat.“
“Dekat itu bukan berarti saling mencinta kan, Kai? Saya dan Bulan memang dekat,
tapi tidak seperti itu. Dia adalah rival Saya. Hmm, kenapa kamu bertanya
seperti itu? Apa kamu cemburu dengan saya? Mengakulah Kai hahaha.“
“Sial, dengan mudahnya kamu bisa menebak apa yang ada di pikiranku. Aku
mengaku. Aku mengaguminya. Aku ingin kamu membantuku.“
“Bantu apa? Mungkin saya bisa.“
“Letakkan setangkai bunga diatas mejanya dan letakkan secarik kertas ini
bersamaan dengan bunga. Aku mohon.“
“Bagaimana bisa, Kai? Kami sekelas, Bulan selalu datang lebih pagi. Saya
pasti gagal.“
“Kita datang lebih
pagi, Ron! Cuma itu caranya! Ayolah! Aku bangunkan kamu lebih pagi besok!“
“Iya iya, kalau begitu mau kamu. Saya nurut saja. Kamu isi saja dulu kertas
ini, lalu dilipat. Jangan sampai saya baca, saya mungkin akan tertawa melihat
tulisanmu.“
Aku bingung mau menulis
apa untuk Bulan. Aku tidak
mau menulis puisi. Terlalu berlebihan. Aku tidak mau selamanya menjadi pemuja
rahasia. Aku tulis saja potongan lirik lagu. Mungkin cocok dengan
pemberian pertama, sekaligus memulai hariku sebagai pemuja rahasia. Tapi tetap,
aku ingin jadi pemuja, bukan pemuja rahasia.
“Sudah selesai,
besok pagi kita mampir ke toko bunga di perempatan sebelum jalan raya. Ayo
tidur, besok kita bangun lebih awal.“
---
“Ron, kamu
memindahkan bunga dan kertas mejamu ke mejaku? Kenapa cuma satu?“ Bulan kaget
karena tidak biasanya ada sesuatu di mejanya sebelum bel.
“Wah selamat,
Bulan! Saya benar-benar tidak tahu, saya
baru datang.“
Saya berbohong.
Padahal dari setengah jam lalu saya sudah di sekolah. Saya bersembunyi di kantin
agar modus pertama Kaisar aman.
“Sekali lagi,
selamat! Setidaknya kamu merasakan apa yang saya rasakan. Setiap hari ada persembahan
di atas meja. Mungkin dibuka saja kertasnya, dan bacakan pada saya apa isi
kertas itu.“
“ I
wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust.
If you like
your coffee hot, let me be your coffee pot.
Secrets I
have held in my heart are harder to hide than I thought.
Maybe I
just wanna be yours. Wanna be yours.
-Kai.
Ini seperti lirik lagu. Oh iya, Arctic Monkeys! Aku punya albumnya di
rumah. Tapi siapa Kai?”
“Kai? Pengirim mencantumkan nama samaran?
Ini harus diselidiki, Lan.”
“Ah tidak peduli. Ingin seperti kamu
saja, Ron. Tidak peduli dengan surat-surat atau bunga-bunga.”
Pemberian
pertama tidak sia-sia. Rona memberitahu kalau suratnya tidak dibuang. Bulan
bicara tidak peduli, tapi batinnya penasaran. Aku harus melakukan pemberian
kedua. Tidak bunga, bunga hanya akan dibuang, tapi tidak cuma surat juga.
Dua
hari selanjutnya, aku sedikit memutar otak tentang apa yang akan aku beri
untuknya di pemberian kedua.
“Apa lagi ini, Ron?! Kado?!” Teriak
Bulan.
“Mungkin dari orang
yang sama, Lan. Coba dibuka
saja. Saya juga ingin lihat.“
“Lagi-lagi tulisan,
tapi kali ini dengan kaset CD. Ternyata mixtape. CD yang isinya campuran
lagu-lagu, seperti playlist. Ada list
lagu-lagunya juga. Lagunya banyak yang
tidak aku ketahui. Pengirimnya unik, ingin berkenalan tapi aku takut juga.”
“Bulan, saya malah
lebih penasaran melihat tulisan di kertas itu. Coba dibacakan.“
“Everybody's
gotta love someone. But, I just wanna love you, dear.
Everybody's
gotta feel something. I just wanna be with you, my dear
I know it's
hard, I know it's hard, I know it's hard to be in this position
If they
stop loving, I won't stop loving you. If they stop needing you, I'll still need
you, my dear.
-Kais
Potongan lirik dari The Drums – Down By The Water. Lagu ini sangat
menyentuh. Kebetulan aku sedang sering mendengar lagu ini. Kenapa si pengirim
bisa tahu?”
“Kais? Dari Kai menjadi
Kais? Saya bingung.“
“Mungkin si Kais ini
ingin bermain teka-teki.”
Saya senang karena saya berhasil
membantu Kaisar untuk berkenalan dengan Bulan, karena berkenalan langsung tatap
muka sepertinya sulit berhubung Kaisar orangnya sangat gugup dan gampang
gemetar. Saya paham. Saya
salut dengan Kaisar. Memberi bunga, lalu mixtape.
Besok apa? Sempat saya tanyakan, tapi ia
sibuk membuat email untuk bisa
mengobrol dengan Bulan. Kaisar sudah jenuh untuk mengirim surat seperti
biasanya. Saya juga malas kalau setiap hari harus bangun pagi untuk menaruh
sesuatu di meja Bulan.
----
“Ron, tumben sekali
tidak ada sesuatu di atas mejaku. Apa si pengirim mulai lelah? Ngomong-ngomong, mixtape yang kemarin ia beri lagunya enak-enak. Kamu harus dengar,
Ron. Enak sekali. Aku makin penasaran dengan si pengirim, Kais atau entahlah
siapa namanya.”
“Lelah? Kamu yakin? Apa pemuja rahasia
kenal kata lelah? Tidak, Bulan. Dia tidak lelah. Dia menghubungi saya lewat email. Orangnya baik, gampang akrab. Dia
sangat ingin bertemu. Kamu harus menghubunginya. kaizer@ocr.com. Sapa dia.”
Langkah ketiga
Kaisar berjalan mulus. Pekerjaan saya sudah selesai, saya tidak minta diberi
imbalan apa-apa dari Kaisar. Saya ingin saudara saya senang. Rona dan Kaisar
selamanya.
Kali ini aku tak memberi apa-apa.
Hanya menitipkan alamat email yang baru aku buat kemarin malam. Bulan sudah
cukup penasaran ingin berkenalan denganku. Tidak lupa juga aku sangat berterima
kasih pada Rona, saudara yang sangat baik. Rona dan Kaisar, kita selamanya.
Setiap malam aku menunggu email masuk dari Bulan, tapi sudah dua
hari inbox masih kosong (iklan-iklan
tidak dihitung). Rona tidur lebih dahulu, aku jadi leluasa duduk didepan layar
komputer, tidak diganggu Rona.
Sabarku berbuah manis. Setelah empat
malam menunggu akhirnya Bulan mengirim email ke alamat emailku. Bulan meminta
maaf karena internetnya bermasalah dari seminggu yang lalu, baru diperbaiki
tadi siang. Bulan penasaran siapa aku sebenarnya, aku berkata aku satu sekolah
dengannya, Bulan semakin penasaran. Aku bilang bahwa suatu saat nanti ada
saatnya kita bertemu. Aku, Rona, dan Bulan. Aku dan Bulan membicarakan banyak
hal, dari lagu yang kumasukkan ke mixtape,
Arctic Monkeys, The Drums, konser-konser musik, membicarakan lelucon yang
ada di sekolah, kadang aku memberikan puisi yang bermaksud merayu, bahkan
mengarah ke gombal. Tapi Bulan tidak menghiraukan puisiku. Kadang kita bicara
serius seperti berdiskusi tentang materi-materi ujian akhir, sampai berdebat.
Obrolan kami tidak terasa, kadang baru selesai jam satu pagi, kadang kurang
dari jam dua belas, kadang bisa lebih dari jam dua belas. Sudah seminggu ini
aku berbalas email dengan Bulan. Bulan semakin penasaran dengan aku. Aku hanya
menjawab aku adalah pemuja rahasiamu. Bulan tidak perlu tahu. Tapi Bulan selalu
marah jika aku bilang begitu. Bulan memberikan alasannya, setelah ujian akhir
dan naik kelas Bulan harus ikut keluarganya pindah ke Manhattan, New York.
Ayahnya ditempatkan disana untuk pekerjaan. Bulan sangat ingin menemuiku. Tapi
aku hanya pemuja rahasia, tidak mungkin menjadi pemuja.
----
Ujian akhir telah usai, tinggal
menunggu waktu untuk pembagian laporan hasil belajar. Bulan berpamitan dengan
saya, selain berpamitan Bulan juga menanyakan Kaisar. Kaisar ingin menemui
Bulan, tapi Kaisar tidak bisa mengalahkan rasa takutnya untuk keluar dan
menemui Bulan. Bulan berangkat ke Manhattan tiga hari lagi. Kaisar semakin gugup dilanda rasa dilema ingin
menemui Bulan atau tidak.
“Untuk Kaisar,
Aku berangkat tiga
hari lagi. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Aku tidak ingin ada sebutan
pemuja rahasia lagi. Aku ingin Kaisar, bukan pemuja rahasia. Obrolan kita tidak
pernah membosankan, kamu orang yang menarik. Kapan kita bisa berdebat langsung
tatap muka? Mungkin hanya impianku saja. Tiga hari lagi, mungkin aku tidak
melihat wajahmu selamanya. Atau mungkin aku akan bertemu Kaisar yang baru di
Manhattan, Kaisar yang berwajah. Tapi aku yakin Kaisar cuma satu. Maka itu,
datanglah ke bandar udara tiga hari lagi. Aku mohon. Biarkan aku menghapus kata
rahasia di sebutan yang kamu sering sebut itu. Aku suka bunga anggrek. Bisa
bawakan aku bunga anggrek? Aku mohon.“
Akibat email dari Bulan, Kaisar lebih suka menyendiri, kadang ia menangis,
kadang hanya diam. Takut sangat menghantuinya. Saya mencoba berbicara
dengannya, tapi tidak pernah berhasil. Kalau seperti ini terus, Kaisar bisa ditusuk
rasa penyesalan. Kaisar begitu terus sampai pada waktu hari Bulan berangkat.
Keadaan ini tidak bisa saya biarkan. Saya berlari ke toko bunga perempatan
sebelum jalan raya untuk membeli setangkai anggrek. Berusaha mengejar waktu.
Saya suguhkan bunga anggrek ke Kaisar. Kaisar diam hanya melihat anggrek lalu
tiba-tiba Kaisar seperti menyerap energi positif dari anggrek itu.
“Ron, beri aku waktu
sebentar. Aku ingin membuat sesuatu untuk Bulan.“
Saya tidak melihat apa yang dibuat
Kaisar, yang saya tahu Kaisar sudah membuat bingkisan dan surat.
“Ayo Ron, beberapa
jam lagi Bulan akan berangkat, kita harus kejar waktu.“
Kami segera lari ke halte dan
menaikki bis ke arah bandara. Semoga tidak terlambat.
----
Rona berlari ke arah tempat
keberangkatan dan mencari Bulan. Rona menemukan Bulan sudah memakai jaket dan menarik koper yang
sangat besar sedang bersama Ayah dan Ibunya. Dengan izin kedua orangtuanya,
Rona menarik tangan Bulan ke tempat duduk yang jauh dari orangtuanya.
“Ada apa, Ron? Aku
kan sudah pamitan. Apa kamu
mau minta oleh-oleh dari New York? Jersey Basket? Aku kembali ke Indonesia
masih lama, Ron. Tidak apa-apa?”
“Bukan. Bukan itu, Bulan. Saya ingin memberitahumu
sesuatu.”
“Apa, Ron?”
“Saya membawa Kaisar ke sini.”
“Kaisar? Mana dia? Cepat beritahu aku!”
“Kamu harus sabar, dia orangnya sangat
pemalu. Saya sudah memanggil Kaisar.”
“Dimana orangnya, Ron?!”
Rona
menunduk, memejamkan mata. Bulan sempat bingung melihat Rona yang tiba-tiba
seperti itu lalu membuka matanya. Raut muka Rona menjadi tidak biasanya, agak
pucat, dan menatap mata Bulan. Tatapan itu tidak lama, Rona segera menunduk
kembali., tapi kali ini menunduk bersama tetesan air mata.
“Rona? Kamu sakit?”
“Aku sakit? Tidak, aku tidak sakit. Aku Kaisar. Aku
pemuja rahasiamu, Bulan. Aku sangat memujamu.“ Suara yang dikeluarkan Rona
berubah menjadi agak nyaring, sudah bukan suara Rona yang dikenal lagi.
“Kaisar? Ron, apa
kamu bercanda?“
“Aku tidak bercanda,
Bulan. Aku Kaisar. Aku beranikan diri untuk bertemu denganmu. Sekarang aku
disini, membawakan anggrek sebagai hadiah perpisahan untukmu. Maukah kamu
memberikan hadiah perpisahan untukku? Aku sangat ingin merasakan pelukan.“
Bulan masih tidak mengerti apa yang
terjadi sebenarnya. Yang ia lihat adalah Rona, tapi ia yakin yang sedang
berbicara dengannya adalah Kaisar. Sangat yakin. Dengan kebingungan Bulan
memeluk Rona.
“Terima kasih,
Bulan. Aku bahagia. Aku bisa mengalahkan rasa takutku untuk keluar dan bertemu
denganmu. Terima kasih. Kaisar, Bulan, Abadi.“
Bulan terdiam, masih tidak mengerti
apa yang dikatakan Rona. Bulan meneteskan air mata. Mengucapkan terima kasih
pada Kaisar untuk anggrek yang dibawanya, Bulan meminta Kaisar agar tetap
berkabar melalui email, tapi Kaisar tidak menjawab. Rona memejamkan matanya.
“Ron, Aku senang.
Terima kasih Ron karena telah membawaku kesini. Tolong beri bingkisanku pada
Bulan, sekaligus bacakan suratku untuk kalian.“ Bisik Kaisar pada Rona dengan
suara lemah.
Mata Rona terbuka kembali dengan
raut muka yang sedia kala. Melepas pelukan Bulan, memberikan bingkisan kepada
Bulan dan membacakan surat untuk mereka.
“Untuk Rona,
Hadiah ini aku beri
untukmu sebagai hadiah perpisahan, isinya adalah dua buah gelang kayu. Aku
harap kamu pakai gelang itu menemani hari-harimu yang penuh aktivitas. Beri
satu lagi gelang itu untuk yang aku puja, Bulan. Aku sangat berterima kasih
kepadamu karena sudah menumpang di rumah dan tempatmu selama bertahun-tahun.
Terima kasih juga karena kamu selalu bilang kalau aku adalah saudaramu. Aku
sampai saat ini tidak tahu aku ini sebenarnya siapa. Kepribadiaan kedua?
makhluk halus yang menempel dibadanmu? Kamu selalu tidak mau membicarakan wujud
tubuhku karena hal itu akan membingungkan kita berdua. Yang kamu bilang padaku
bahwa aku harus terus ingat bahwa kita adalah saudara, bukan yang lain. Kita
saudara.
Rona, Sudah saatnya
aku pergi dari tempatmu, aku dan kamu semakin besar. Kita harus hidup sendiri-sendiri, kamu
harus mencapai cita-cita.
Untuk Bulan,
Kali ini aku akan
tidak akan mengutip lirik lagu. Aku akan memberimu puisi pendek yang aku tulis
untukmu.
Karena hanya dengan perasaan
Rinduku yang dalam padamu
Kupertahankan hidup
Maka hanya dengan jejak-jejak hatimu
Ada artiku
telusuri hidup ini
Selamanya hanya ku bisa memujamu
Selamanya hanya ku bisa merindukanmu
Aku pamit, aku
pergi. Terima kasih, Rona, Bulan. Aku akan merindukan kalian. Jika kalian rindu
denganku, pandangi saja gelang itu. Tidak usah pikirkan aku, aku sudah bahagia.
Selamat tinggal. Kaisar, Rona, kita selamanya. Kaisar, Bulan, kita abadi.
Tambahan: Jika tidak
keberatan, Aku percayakan Bulan padamu, Rona. Kalian cocok.“
*cerpen ini terinspirasi dari lagu Sheila On 7 - Pemuja Rahasia
Subscribe to:
Comments (Atom)