Thursday, December 25, 2014

Revolantas

hijau berarti jalan
kuning berarti naikkan kecepatan
merah berarti terobos
p disilang adalah tempat parkir
izin kemudi bisa dibeli
pilihan saat diberhentikan hanya ada dua
pilih sidang atau damai
sampai kapan kita dikangkangi?
apa mental kita sudah siap direvolusi?


2014

Monday, December 15, 2014

Harapan Dibalik Kerapuhan

     

            Langit menggelap. Tidak tahu gelap itu karena sudah malam, ingin hujan, atau asap-asap pabrik. Sialnya rumahku bersebelahan dengan pabrik-pabrik itu, asap-asap hitam itu selalu menghampiri rumah kami, bahkan terkadang masuk ke dalam. Ayah dan Ibu menolak rumahnya dipindahkan, dengan alasan rumah ini adalah tempat dari segala tempat, tidak akan tergantikan, ayah dan ibu juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli rumah yang layak. Keluarga kami adalah keluarga pekerja keras. Ayahku bekerja sebagai buruh pabrik, ibu dan bibi Marie bekerja sebagai penjahit di pusat kota. Akibat kerja keras mereka, mereka berhasil menyekolahkan aku dan adik-adikku di pusat kota, tapi kami tidak satu sekolah. Adik-adikku menetap di asrama. Beruntungnya adik-adikku, tidak tahu kapan mereka akan mengakhiri hidupnya. Aku akan mengakhiri hidup dengan tempat yang sama dan keadaan yang sama seperti ayah dan ibu, yaitu tempat tidur lusuh dan kanker.

“Alaska, pergilah...ambilkan aku air putih yang banyak....“, Mulutku sudah susah berbicara.

“Banyak-banyak untuk apa?“

“Aku malu jika adik-adikku datang, bibirku terlihat menyeramkan.“

            Alaska, teman sekolahku yang selalu marah kalau aku melarangnya datang ke rumah. Aku takut Alaska berakhir seperti ini aku, ayah dan ibu. Alaska bilang aku tidak usah melarangnya, dia tidak suka hal-hal yang ia inginkan dilarang. Setiap pulang sekolah Alaska selalu datang menggunakan masker khusus. Kami sudah menyatakan perasaan masing-masing. Aku cinta Alaska, Alaska cinta aku. Tapi kami sepakat untuk tidak ada ikatan, ikatan hanya akan membuat kami tidak senang. Oh kami rindu saat-saat kami membaca buku bersama di taman sekolah, saat aku belum rapuh.

“Adik-adikmu tidak akan seperti itu, mereka akan datang membawa roti-roti buatan terbaik pusat kota.“

“Apa kamu sudah mengingatkan adik-adikku untuk memakai masker saat berkunjung kesini?“

“Sudah, kamu tidak usah cemas.“

“Alaska, apa kamu tahu lagu What A Wonderful World? Bisa kau nyanyikan untukku?“

“Apa yang tidak untukmu? Baiklah, aku memulainya sekarang.
I see trees of green, red roses too. I see them bloom, for me and you.  And I think to myself, what a wonderful world. I see skies of blue, and clouds of white. The bright blessed day, the dark sacred night. And I think to myself, what a wonderful world…

            Sejak kecil, aku sering dinyanyikan lagu itu oleh ibu. Lagu itu selalu spesial. Ada harapan di lirik dan nadanya.

“Terima kasih, Alaska. Menurutmu, apa penulis lagu ini menulis saat apa yang ia lihat?“

“Mungkin saja.“

“Kalau begitu,  yang ia lihat itu tempatnya dimana? Bisakah kita kesana?“

“Bisa, kalau kamu sembuh. Kemanapun akan aku bawa. Kita akan mencari tempat dimana banyak pohon hijau, mawar merah bermekaran dibawah langit yang cerah, lalu kita akan bernyanyi sampai lelah dan terlelap.“
----

“Kami datang!“ Teriak Brown dan Lily, adik-adikku.

“Brown, Lily, akhirnya kalian sampai disini juga, jangan lupa kenakan masker. Udara disini tidak baik.“, Ujar Alaska.

“Maaf, aku dan Brown lupa, kak Alaska.“, dengan sigap Lily langsung memakai masker, diikuti oleh Brown.

            Brown dan Lily, kembar tidak identik, mereka sudah besar. Aku hanya melihatnya setahun sekali, setiap liburan naik kelas mereka selalu pulang. Mereka membawakan roti dari pusat kota, yang sebelumnya roti ini selalu dibawakan oleh ibu saat uang gajiannya turun. Mereka hebat, mereka berhasil mendapatkan beasiswa dari walikota. Jadi, segala uang sekolah dan uang saku ditanggung oleh pemerintah walikota. Aku terharu saat mereka bilang kalau mereka membeli roti itu dari uang saku yang disisihkan. Aku jadi teringat ayah dan ibu. Apa mereka sudah tinggal di bukit hijau dengan pepohonan dan bunga-bunga di bawah langit yang biru?

“Kakak, bagaimana keadaanmu?“ Tanya Lily sambil menatap seluruh badanku.

“Seperti ini saja, bahkan semakin buruk. Aku semakin menyeramkan. Lihat, rambutku sudah hampir habis, badanku sudah layu mengikuti pohon-pohon diluar sana. Chemotherapy tidak membantu.”

“Jangan bilang begitu, kak. Kakak masih punya harapan, kita masih punya harapan. Kami semua mau kakak sembuh dan bersekolah lagi dengan kak Alaska.“

            Aku cuma tersenyum. Tersenyum memberi harapan pada adik-adikku dan Alaska, tapi tidak untuk diri sendiri. Sama seperti ayah dan ibu saat itu. Tersenyum kepada kami.

“Brown, Lily. Bagaimana sekolahmu? Bagaimana nilaimu?”

“Nilai kami semakin baik, kemarin Brown berhasil memenangkan lomba debat biologi. Sepertinya dia akan menjadi dokter dengan semua omongannya yang didebatkan itu hahaha.”, Ujar Lily.

“Lily terlalu melebih-lebihkan, kak! Kemarin Lily dapat juara satu menulis esai di pekan ekonomi sekolah!”

            Melihat mereka berisik seperti itu, sepertinya aku mendapat harapan. Bukan harapan untuk kesembuhanku, tapi harapan untuk masa depannya yang cerah, kota yang lebih baik.

“Sudah, jangan saling pamer seperti itu, aku kan jadi iri. Kalian ini akan menjadi orang-orang penting di kota ini. Harapan-harapan orang kota akan dipegang kalian, maju atau tidaknya kota ini tergantung kinerja orang-orang yang seperti kalian ini.“

            Mereka terharu, mereka memelukku. Aku dipeluk oleh tubuh-tubuh orang sehat. Seperti dulu saat aku memeluk ayah dan ibu.


----
“Alaska, apa aku akan sembuh dengan keadaan yang sudah seburuk ini?“

“Kamu akan sembuh, percaya padaku. Aku akan tetap disini,  bersamamu, menjagamu. Aku sudah berjanji akan terus bersamamu sampai kamu sembuh.“

“Kalau aku sembuh, apa kita bisa menikah?“

“Kesembuhanmu akan menjadi persembahanmu untukku saat pernikahan nanti.“

“Tapi seandainya penyakit ini tidak bisa disembuhkan, kamu ingin menikah dengan siapa? Kamu harus bahagia, kamu harus menikah. Kamu akan menjadi ibu yang baik.“

            Pertanyaanku terlalu mendalam, Alaska menunduk dan menangis.

“Jangan tanyakan itu, Matt. Jangan tanyakan itu lagi. Cukup.“

“Bagaimanapun juga, kamu harus memikirkannya, setelah ini, setelah aku mati. Aku tidak mau kamu sendirian. Lebih menyakitkan aku melihatmu sendirian sampai kamu mati daripada menikah dengan laki-laki lain.“

“Cukup, Matt.“, Tangis Alaska semakin terdengar, ia tidak dapat menahan lagi tangisnya itu.

“Sekarang, lihat aku. Rapuh, botak, menakutkan, tidak ber……..”

            Sesuatu dari badan menahanku menyelesaikan omongan yang aku ingin keluarkan. Omonganku diselak oleh batuk secara tiba-tiba. Batuk itu membuatku sesak, semakin sesak saat batuk itu disertai darah merah segar keluar dari mulutku. Alaska panik, segera memasang alat oksigen ke mulutku namun aku malah menyemprotkan darah ke alat itu yang membuatku susah bernafas.  Tangisan Alaska semakin kencang terdengar, semakin panik, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tangisan Alaska terdengar oleh Brown dan Lily yang sedang di teras rumah.

“Brown, Lily! Kakakmu batuk berdarah! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi!“

            Dengan segera, Brown membersihkan alat oksigen itu dengan lap dan membimbingku untuk tidak panik dan nafas perlahan. Aku berhasil bernafas kembali dengan tenang, batuk itu hilang. Lily membantu Brown dengan mengelap darah dari sekitar mulut dan badanku. Alaska masih panik di sudut kamar dan tetap menangis, seperti ada rasa penyesalan karena tidak bisa membantu apa-apa saat aku batuk-batuk tadi.

“Brown, Lily, Alaska, tolong panggilkan bibi Marie untuk pulang ke rumah sekarang. Aku ingin bicara.“

“Segera aku telepon. Aku punya nomor tempat bibi Marie bekerja.“

            Kami menunggu bibi Marie pulang ke rumah. Perjalanan dari pusat kota ke rumah sebenarnya tidak jauh, tapi bibi Marie harus menaiki bis yang rutenya selalu dilanda macet. Sekitar 2 jam bibi Marie baru sampai.

“Oh, Matt. Kamu sudah tidak apa-apa? Maafkan bibi Marie. Seperti biasa, jalanannya macet. Bibi akan masakkan sup untukkmu, lalu kamu harus minum obat.“, bibi tergesa-gesa karena panik melihat keadaanku.

“Tidak, bibi. Aku tidak mau sup, aku tidak mau obat. Mereka tidak akan menolongku saat ini. Yang aku mau adalah kalian berkumpul seperti ini.“

“Ada apa, Matt? Kamu ingin ke rumah sakit sekarang? Kalau kamu mau, bibi dan yang lain akan membawamu kesana.“

“Aku tidak mau ke rumah sakit. Keuangan keluarga sudah tidak seperti dulu lagi.. Uang peninggalan ayah dan ibu sudah habis karena biaya chemotherapy. Sebelumnya, ayah dan ibu juga sudah banyak hutang karena pengobatan kankernya. Aku tidak mau bibi berhutang lagi, sudah cukup. Bibi, Brown, Lily, dan Alaska hanya perlu mendengarkan, lebih dari cukup. Semuanya, aku cinta kalian. Bibi...., aku... mohon untuk menetap... di tempat lain. Jangan terus-terus menetap disini, para orang kaya dan pabrik-pabriknya itu semakin.... jahat. Brown, Lily, aku ....bangga pada kalian, bangga pada prestasi yang kalian peroleh. Jangan lupakan... pesan... yang beberapa jam tadi aku beritahu pada kalian tentang harapan. Jika.... kalian sudah mencapai... cita-cita yang kalian inginkan, jangan lupa... untuk urus bibi Marie, bibi Marie akan ...semakin tua. Kalian harus merawatnya.... seperti saat bibi Marie merawat kalian setelah ayah... dan ibu... meninggal. Alaska...., jangan menangis terus. Sedih memang, aku.... tidak akan menikah. Tapi.... kamu harus... menikah. Sayang sekali perempuan penyayang.... sepertimu tidak merawat anak. Laki-laki mencari perempuan yang sepertimu, maka itu.... kamu harus pandai-pandai memilih laki-laki. Semuanya...., aku berterima kasih.... karena sudah mau mendengarkan suaraku yang layu ini. Aku sudah tidak tahan..... lagi. Badanku semakin sakit. Aku seperti menerima beban berat, beban yang berat itu adalah........ meninggalkan kalian. Jika aku harus.... dikubur besok, kuburkan... aku dengan pakaian warna-warni.... Supaya orang-orang beranggapan kalau aku meninggal tanpa membawa duka lara. Terakhir..bibi Marie..kamu tahu kan kotak bolong-bolong di gudang atas dekat jendela....? Tolong ambilkan itu dan berikan pada Brown.....tolong.......oh ayah, ibu...aku rindu kalian.....“

            Nafasku semakin berat, pandanganku mulai kabur. Tapi aku masih bisa melihat bibi Marie keatas gudang mengambil kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ dan langsung memberinya kepada Brown. Sepertinya mereka mulai menangis, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku mulai tidak merasakan kakiku, aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Lalu perasaan itu menjalar ke tangan, tanganku sudah tidak bisa digerakkan. Seluruh badanku dingin. Apa nyawaku sedang di tarik? Dimana malaikat? Aku tidak melihat malaikat disekitarku. Seketika gelap. Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Semuanya gelap dan terasa hampa. Terasa dingin dan damai.

----

“Kalau aku boleh tahu, isi kotak itu apa, Matt?“

“Kamu penasaran sekali rupanya. Isi kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ itu adalah tumbuhan yang aku rawat saat aku baru divonis kanker oleh dokter. Disitu aku menuliskan Semoga. aku adalah orang terakhir yang mengidap penyakit ini. Ini adalah harapanku dan semua penduduk kota ini. ”

“Wah ternyata itu isinya. Apa disana pohon sangat langka, Matt? Rasanya aku ingin membawa beberapa pohon di sini untuk disumbang ke tempatmu berasal.”

“Di tempatku, pohon-pohon pada mati ditebangi karena pembangunan wilayah pabrik itu. Kalau bisa begitu, aku juga ingin. Seandainya aku bisa mengirim surat kepada Alaska kalau aku sudah tinggal di tempat yang banyak pepohonan, bunga bermekaran dimana-mana di bawah langit yang biru. Pasti ia akan senang.”

“Sudahlah, Matt. Kamu sudah memberi harapan pada mereka. Kamu harus percayakan mereka.”

“Terima kasih karena sudah menghiburku. Sekarang, maukah kamu bantu aku mencarikan dimana ayah dan ibuku tinggal?”

“Aku mau. Hmm, rumah tuan dan nyonya Nicholson? Aku tau tempatnya, mari ikuti aku."

Thursday, December 11, 2014

Sanubari Mahasiswa Baru

pergi masih gelap
pulang sudah gelap
badan bau dan pengap
sampai di rumah tak sedikitpun mengucap
beginilah mahasiswa baru
rasanya ingin kejar gelar buru-buru
padahal baru semester satu
sudah seperti rusa diburu
masih malas berlari
sudah membayangkan skripsi
padahal buku catatan belum terisi
cuma duduk dan mulut terkunci
jalan masih panjang
masih banyak yang harus diterjang
masih banyak tugas yang mengekang
jiwa dan raga akan berperang
bersiaplah
demi ibu dan ayah




Agustus, 2014

Wednesday, December 10, 2014

Abadi, Selamanya

“Tuhan, hari ini aku ingin melihatnya bahagia dan tersenyum. Apakah aku bisa menyapanya hari ini? Aku ingin sekali. Tapi badan ini selalu gemetar takut. Berilah aku kekuatan.”
            Doa penutup pagi ini diucapkan sungguh-sungguh olehku. Mungkin sudah beratus-ratus kali  aku mengucapkan doa penutup itu, pokoknya aku selalu berdoa seperti itu. Mungkin akan terus berdoa seperti itu, seperti ayam yang tak bosannya berkokok setiap pagi. Aku Kaisar.
“Tuhan, hari ini saya ingin melihat meja belajar kelas saya bersih dari segala bunga dan kertas berbentuk hati atau apapun. Kabulkanlah doa saya.“
            Saya sudah bosan menutup doa dengan doa yang seperti itu. Saya tidak seperti ayam yang tidak bosan berkokok seperti pagi. Saya Rona.
“Ron, sudah selesai beres-beresnya? Ayo berangkat, sebentar lagi gerbang ditutup.”
“Iya sebentar, Kai. Saya lupa membuat tugas menulis puisi yang harus dikumpul hari ini. Semalam saya kelelahan.“
“Aduh, Ron. Kenapa tidak bilang dari semalam? Ya sudah, buka folderku yang ada di desktop. Pakai puisi yang pernah aku tulis di waktu senggang. Toh tidak bakal ketahuan. Ingat ya Ron, cuma sekali ini saja.“
            Aku suka menulis puisi dan mendengarkan musik di waktu senggang. Mereka saling menginspirasi.
            Saya merasakan lega seketika dan sekaligus bersyukur karena mempunyai saudara yang baik.  Kaisar suka menulis puisi yang terinspirasi dari lirik lagu independen hasil eksplorasi internet. Kaisar selalu menunjukkan lagu hasil pencariannya kepada saya dan meminta penilaian apakah lagunya enak atau tidak. Saya dan Kaisar tinggal satu rumah, satu tempat.
            Saya sampai di sekolah tepat pukul tujuh. Gerbang hampir ditutup. Sampai di sekolah Saya langsung memakai topi agar tidak ketahuan perempuan-perempuan. Saya berhasil menembus kerumunan perempuan-perempuan itu, tapi apa daya ketika saya sampai di kelas, dengan lantang saya berteriak kalau doa saya pagi ini tidak terkabul (lagi).
 “Kenapa lagi sih Ron? Kamu pindah ke sekolah lain pun hasilnya sama. Langganan surat dan bunga setiap hari.”, celoteh Bulan.
            Bulan, teman sekelas yang tidak genit sama sekali. Ia duduk paling di depan di kelas. Kompetitor sehat saya saat mengejar nilai. Rambutnya tergerai indah, tapi Bulan tidak sama dengan perempuan-perempuan lain di sekolah yang saya sebut perempuan gatal. Bulan tidak suka barang yang pasaran. Perempuan-perempuan gatal memakai tas yang biasanya dipakai sosialita berkumpul untuk bahas arisan atau bisnis mereka, tapi Bulan tidak. Bulan memakai tas punggung kulit hitam dengan ornamen sayap di punggung tasnya. Yang lain memakai flatshoes impor, Bulan memakai boots hitam dengan merek dr.Martens. Saya yakin yang membuat sepatu itu bukan dokter.
            Ah, Bulan mendekat. Aku gemetar. Aku penasaran ingin menatap matanya namun tidak sanggup, sepasang matanya seperti matahari. Bulan, tolong menjauh dariku, menjauh tapi tidak terlalu jauh, aku mohon.
----
“Ron, apa kamu menyukai Bulan? Kalian sangat dekat.“
“Dekat itu bukan berarti saling mencinta kan, Kai? Saya dan Bulan memang dekat, tapi tidak seperti itu. Dia adalah rival Saya. Hmm, kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu cemburu dengan saya? Mengakulah Kai hahaha.“
“Sial, dengan mudahnya kamu bisa menebak apa yang ada di pikiranku. Aku mengaku. Aku mengaguminya. Aku ingin kamu membantuku.“
“Bantu apa? Mungkin saya bisa.“
“Letakkan setangkai bunga diatas mejanya dan letakkan secarik kertas ini bersamaan dengan bunga. Aku mohon.“
“Bagaimana bisa, Kai? Kami sekelas, Bulan selalu datang lebih pagi. Saya pasti gagal.“
“Kita datang lebih pagi, Ron! Cuma itu caranya! Ayolah! Aku bangunkan kamu lebih pagi besok!“
“Iya iya, kalau begitu mau kamu. Saya nurut saja. Kamu isi saja dulu kertas ini, lalu dilipat. Jangan sampai saya baca, saya mungkin akan tertawa melihat tulisanmu.“
            Aku bingung mau menulis apa untuk Bulan. Aku tidak mau menulis puisi. Terlalu berlebihan. Aku tidak mau selamanya menjadi pemuja rahasia. Aku tulis saja potongan lirik lagu. Mungkin cocok dengan pemberian pertama, sekaligus memulai hariku sebagai pemuja rahasia. Tapi tetap, aku ingin jadi pemuja, bukan pemuja rahasia.

“Sudah selesai, besok pagi kita mampir ke toko bunga di perempatan sebelum jalan raya. Ayo tidur, besok kita bangun lebih awal.“
---

“Ron, kamu memindahkan bunga dan kertas mejamu ke mejaku? Kenapa cuma satu?“ Bulan kaget karena tidak biasanya ada sesuatu di mejanya sebelum bel.

“Wah selamat, Bulan!  Saya benar-benar tidak tahu, saya baru datang.“

Saya berbohong. Padahal dari setengah jam lalu saya sudah di sekolah. Saya bersembunyi di kantin agar modus pertama Kaisar aman.

“Sekali lagi, selamat! Setidaknya kamu merasakan apa yang saya rasakan. Setiap hari ada persembahan di atas meja. Mungkin dibuka saja kertasnya, dan bacakan pada saya apa isi kertas itu.“

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust.
If you like your coffee hot, let me be your coffee pot.
Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought.
Maybe I just wanna be yours. Wanna be yours.
-Kai.
Ini seperti lirik lagu. Oh iya, Arctic Monkeys! Aku punya albumnya di rumah. Tapi siapa Kai?

Kai? Pengirim mencantumkan nama samaran? Ini harus diselidiki, Lan.”

“Ah tidak peduli. Ingin seperti kamu saja, Ron. Tidak peduli dengan surat-surat atau bunga-bunga.”

            Pemberian pertama tidak sia-sia. Rona memberitahu kalau suratnya tidak dibuang. Bulan bicara tidak peduli, tapi batinnya penasaran. Aku harus melakukan pemberian kedua. Tidak bunga, bunga hanya akan dibuang, tapi tidak cuma surat juga.

            Dua hari selanjutnya, aku sedikit memutar otak tentang apa yang akan aku beri untuknya di pemberian kedua.

“Apa lagi ini, Ron?! Kado?!” Teriak Bulan.

“Mungkin dari orang yang sama, Lan. Coba dibuka saja. Saya juga ingin lihat.“

“Lagi-lagi tulisan, tapi kali ini dengan kaset CD. Ternyata mixtape. CD yang isinya campuran lagu-lagu, seperti playlist. Ada list lagu-lagunya juga.  Lagunya banyak yang tidak aku ketahui. Pengirimnya unik, ingin berkenalan tapi aku takut juga.”

“Bulan, saya malah lebih penasaran melihat tulisan di kertas itu. Coba dibacakan.“

“Everybody's gotta love someone. But, I just wanna love you, dear.
Everybody's gotta feel something. I just wanna be with you, my dear
I know it's hard, I know it's hard, I know it's hard to be in this position
If they stop loving, I won't stop loving you. If they stop needing you, I'll still need you, my dear.
-Kais
Potongan lirik dari The Drums – Down By The Water. Lagu ini sangat menyentuh. Kebetulan aku sedang sering mendengar lagu ini. Kenapa si pengirim bisa tahu?

“Kais? Dari Kai menjadi Kais? Saya bingung.“

“Mungkin si Kais ini ingin bermain teka-teki.”

            Saya senang karena saya berhasil membantu Kaisar untuk berkenalan dengan Bulan, karena berkenalan langsung tatap muka sepertinya sulit berhubung Kaisar orangnya sangat gugup dan gampang gemetar. Saya paham. Saya salut dengan Kaisar. Memberi bunga, lalu mixtape. Besok apa? Sempat  saya tanyakan, tapi ia sibuk membuat email untuk bisa mengobrol dengan Bulan. Kaisar sudah jenuh untuk mengirim surat seperti biasanya. Saya juga malas kalau setiap hari harus bangun pagi untuk menaruh sesuatu di meja Bulan.

----

“Ron, tumben sekali tidak ada sesuatu di atas mejaku. Apa si pengirim mulai lelah? Ngomong-ngomong, mixtape yang kemarin ia beri lagunya enak-enak. Kamu harus dengar, Ron. Enak sekali. Aku makin penasaran dengan si pengirim, Kais atau entahlah siapa namanya.”

“Lelah? Kamu yakin? Apa pemuja rahasia kenal kata lelah? Tidak, Bulan. Dia tidak lelah. Dia menghubungi saya lewat email. Orangnya baik, gampang akrab. Dia sangat ingin bertemu. Kamu harus menghubunginya. kaizer@ocr.com. Sapa dia.”

            Langkah ketiga Kaisar berjalan mulus. Pekerjaan saya sudah selesai, saya tidak minta diberi imbalan apa-apa dari Kaisar. Saya ingin saudara saya senang. Rona dan Kaisar selamanya.

            Kali ini aku tak memberi apa-apa. Hanya menitipkan alamat email yang baru aku buat kemarin malam. Bulan sudah cukup penasaran ingin berkenalan denganku. Tidak lupa juga aku sangat berterima kasih pada Rona, saudara yang sangat baik. Rona dan Kaisar, kita selamanya.

            Setiap malam aku menunggu email masuk dari Bulan, tapi sudah dua hari inbox masih kosong (iklan-iklan tidak dihitung). Rona tidur lebih dahulu, aku jadi leluasa duduk didepan layar komputer, tidak diganggu Rona.
           
            Sabarku berbuah manis. Setelah empat malam menunggu akhirnya Bulan mengirim email ke alamat emailku. Bulan meminta maaf karena internetnya bermasalah dari seminggu yang lalu, baru diperbaiki tadi siang. Bulan penasaran siapa aku sebenarnya, aku berkata aku satu sekolah dengannya, Bulan semakin penasaran. Aku bilang bahwa suatu saat nanti ada saatnya kita bertemu. Aku, Rona, dan Bulan. Aku dan Bulan membicarakan banyak hal, dari lagu yang kumasukkan ke mixtape, Arctic Monkeys, The Drums, konser-konser musik, membicarakan lelucon yang ada di sekolah, kadang aku memberikan puisi yang bermaksud merayu, bahkan mengarah ke gombal. Tapi Bulan tidak menghiraukan puisiku. Kadang kita bicara serius seperti berdiskusi tentang materi-materi ujian akhir, sampai berdebat. Obrolan kami tidak terasa, kadang baru selesai jam satu pagi, kadang kurang dari jam dua belas, kadang bisa lebih dari jam dua belas. Sudah seminggu ini aku berbalas email dengan Bulan. Bulan semakin penasaran dengan aku. Aku hanya menjawab aku adalah pemuja rahasiamu. Bulan tidak perlu tahu. Tapi Bulan selalu marah jika aku bilang begitu. Bulan memberikan alasannya, setelah ujian akhir dan naik kelas Bulan harus ikut keluarganya pindah ke Manhattan, New York. Ayahnya ditempatkan disana untuk pekerjaan. Bulan sangat ingin menemuiku. Tapi aku hanya pemuja rahasia, tidak mungkin menjadi pemuja.

----

            Ujian akhir telah usai, tinggal menunggu waktu untuk pembagian laporan hasil belajar. Bulan berpamitan dengan saya, selain berpamitan Bulan juga menanyakan Kaisar. Kaisar ingin menemui Bulan, tapi Kaisar tidak bisa mengalahkan rasa takutnya untuk keluar dan menemui Bulan. Bulan berangkat ke Manhattan tiga hari lagi.  Kaisar semakin gugup dilanda rasa dilema ingin menemui Bulan atau tidak.

“Untuk Kaisar,
Aku berangkat tiga hari lagi. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Aku tidak ingin ada sebutan pemuja rahasia lagi. Aku ingin Kaisar, bukan pemuja rahasia. Obrolan kita tidak pernah membosankan, kamu orang yang menarik. Kapan kita bisa berdebat langsung tatap muka? Mungkin hanya impianku saja. Tiga hari lagi, mungkin aku tidak melihat wajahmu selamanya. Atau mungkin aku akan bertemu Kaisar yang baru di Manhattan, Kaisar yang berwajah. Tapi aku yakin Kaisar cuma satu. Maka itu, datanglah ke bandar udara tiga hari lagi. Aku mohon. Biarkan aku menghapus kata rahasia di sebutan yang kamu sering sebut itu. Aku suka bunga anggrek. Bisa bawakan aku bunga anggrek? Aku mohon.“

            Akibat email dari Bulan, Kaisar lebih suka menyendiri, kadang ia menangis, kadang hanya diam. Takut sangat menghantuinya. Saya mencoba berbicara dengannya, tapi tidak pernah berhasil. Kalau seperti ini terus, Kaisar bisa ditusuk rasa penyesalan. Kaisar begitu terus sampai pada waktu hari Bulan berangkat. Keadaan ini tidak bisa saya biarkan. Saya berlari ke toko bunga perempatan sebelum jalan raya untuk membeli setangkai anggrek. Berusaha mengejar waktu. Saya suguhkan bunga anggrek ke Kaisar. Kaisar diam hanya melihat anggrek lalu tiba-tiba Kaisar seperti menyerap energi positif dari anggrek itu.

“Ron, beri aku waktu sebentar. Aku ingin membuat sesuatu untuk Bulan.“

            Saya tidak melihat apa yang dibuat Kaisar, yang saya tahu Kaisar sudah membuat bingkisan dan surat.

“Ayo Ron, beberapa jam lagi Bulan akan berangkat, kita harus kejar waktu.“

            Kami segera lari ke halte dan menaikki bis ke arah bandara. Semoga tidak terlambat.
----
            Rona berlari ke arah tempat keberangkatan dan mencari Bulan. Rona menemukan Bulan  sudah memakai jaket dan menarik koper yang sangat besar sedang bersama Ayah dan Ibunya. Dengan izin kedua orangtuanya, Rona menarik tangan Bulan ke tempat duduk yang jauh dari orangtuanya.

“Ada apa, Ron? Aku kan sudah pamitan. Apa kamu mau minta oleh-oleh dari New York? Jersey Basket? Aku kembali ke Indonesia masih lama, Ron. Tidak apa-apa?”

“Bukan. Bukan itu, Bulan. Saya ingin memberitahumu sesuatu.”

“Apa, Ron?”

“Saya membawa Kaisar ke sini.”

“Kaisar? Mana dia? Cepat beritahu aku!”

“Kamu harus sabar, dia orangnya sangat pemalu. Saya sudah memanggil Kaisar.”

“Dimana orangnya, Ron?!”

            Rona menunduk, memejamkan mata. Bulan sempat bingung melihat Rona yang tiba-tiba seperti itu lalu membuka matanya. Raut muka Rona menjadi tidak biasanya, agak pucat, dan menatap mata Bulan. Tatapan itu tidak lama, Rona segera menunduk kembali., tapi kali ini menunduk bersama tetesan air mata.

“Rona? Kamu sakit?”

“Aku sakit? Tidak, aku tidak sakit. Aku Kaisar. Aku pemuja rahasiamu, Bulan. Aku sangat memujamu.“ Suara yang dikeluarkan Rona berubah menjadi agak nyaring, sudah bukan suara Rona yang dikenal lagi.

“Kaisar? Ron, apa kamu bercanda?“

“Aku tidak bercanda, Bulan. Aku Kaisar. Aku beranikan diri untuk bertemu denganmu. Sekarang aku disini, membawakan anggrek sebagai hadiah perpisahan untukmu. Maukah kamu memberikan hadiah perpisahan untukku? Aku sangat ingin merasakan pelukan.“

            Bulan masih tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Yang ia lihat adalah Rona, tapi ia yakin yang sedang berbicara dengannya adalah Kaisar. Sangat yakin. Dengan kebingungan Bulan memeluk Rona.

“Terima kasih, Bulan. Aku bahagia. Aku bisa mengalahkan rasa takutku untuk keluar dan bertemu denganmu. Terima kasih. Kaisar, Bulan, Abadi.“

            Bulan terdiam, masih tidak mengerti apa yang dikatakan Rona. Bulan meneteskan air mata. Mengucapkan terima kasih pada Kaisar untuk anggrek yang dibawanya, Bulan meminta Kaisar agar tetap berkabar melalui email, tapi Kaisar tidak menjawab. Rona memejamkan matanya.

“Ron, Aku senang. Terima kasih Ron karena telah membawaku kesini. Tolong beri bingkisanku pada Bulan, sekaligus bacakan suratku untuk kalian.“ Bisik Kaisar pada Rona dengan suara lemah.

            Mata Rona terbuka kembali dengan raut muka yang sedia kala. Melepas pelukan Bulan, memberikan bingkisan kepada Bulan dan membacakan surat untuk mereka.

“Untuk Rona,
Hadiah ini aku beri untukmu sebagai hadiah perpisahan, isinya adalah dua buah gelang kayu. Aku harap kamu pakai gelang itu menemani hari-harimu yang penuh aktivitas. Beri satu lagi gelang itu untuk yang aku puja, Bulan. Aku sangat berterima kasih kepadamu karena sudah menumpang di rumah dan tempatmu selama bertahun-tahun. Terima kasih juga karena kamu selalu bilang kalau aku adalah saudaramu. Aku sampai saat ini tidak tahu aku ini sebenarnya siapa. Kepribadiaan kedua? makhluk halus yang menempel dibadanmu? Kamu selalu tidak mau membicarakan wujud tubuhku karena hal itu akan membingungkan kita berdua. Yang kamu bilang padaku bahwa aku harus terus ingat bahwa kita adalah saudara, bukan yang lain. Kita saudara.
Rona, Sudah saatnya aku pergi dari tempatmu, aku dan kamu semakin besar. Kita harus hidup sendiri-sendiri, kamu harus mencapai cita-cita.

Untuk Bulan,
Kali ini aku akan tidak akan mengutip lirik lagu. Aku akan memberimu puisi pendek yang aku tulis untukmu.
Karena hanya dengan perasaan
Rinduku yang dalam padamu
Kupertahankan hidup
Maka hanya dengan jejak-jejak hatimu
Ada artiku telusuri hidup ini
Selamanya hanya ku bisa memujamu
Selamanya hanya ku bisa merindukanmu

Aku pamit, aku pergi. Terima kasih, Rona, Bulan. Aku akan merindukan kalian. Jika kalian rindu denganku, pandangi saja gelang itu. Tidak usah pikirkan aku, aku sudah bahagia. Selamat tinggal. Kaisar, Rona, kita selamanya. Kaisar, Bulan, kita abadi.

Tambahan: Jika tidak keberatan, Aku percayakan Bulan padamu, Rona. Kalian cocok.“

*cerpen ini terinspirasi dari lagu Sheila On 7 - Pemuja Rahasia