Monday, December 15, 2014

Harapan Dibalik Kerapuhan

     

            Langit menggelap. Tidak tahu gelap itu karena sudah malam, ingin hujan, atau asap-asap pabrik. Sialnya rumahku bersebelahan dengan pabrik-pabrik itu, asap-asap hitam itu selalu menghampiri rumah kami, bahkan terkadang masuk ke dalam. Ayah dan Ibu menolak rumahnya dipindahkan, dengan alasan rumah ini adalah tempat dari segala tempat, tidak akan tergantikan, ayah dan ibu juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli rumah yang layak. Keluarga kami adalah keluarga pekerja keras. Ayahku bekerja sebagai buruh pabrik, ibu dan bibi Marie bekerja sebagai penjahit di pusat kota. Akibat kerja keras mereka, mereka berhasil menyekolahkan aku dan adik-adikku di pusat kota, tapi kami tidak satu sekolah. Adik-adikku menetap di asrama. Beruntungnya adik-adikku, tidak tahu kapan mereka akan mengakhiri hidupnya. Aku akan mengakhiri hidup dengan tempat yang sama dan keadaan yang sama seperti ayah dan ibu, yaitu tempat tidur lusuh dan kanker.

“Alaska, pergilah...ambilkan aku air putih yang banyak....“, Mulutku sudah susah berbicara.

“Banyak-banyak untuk apa?“

“Aku malu jika adik-adikku datang, bibirku terlihat menyeramkan.“

            Alaska, teman sekolahku yang selalu marah kalau aku melarangnya datang ke rumah. Aku takut Alaska berakhir seperti ini aku, ayah dan ibu. Alaska bilang aku tidak usah melarangnya, dia tidak suka hal-hal yang ia inginkan dilarang. Setiap pulang sekolah Alaska selalu datang menggunakan masker khusus. Kami sudah menyatakan perasaan masing-masing. Aku cinta Alaska, Alaska cinta aku. Tapi kami sepakat untuk tidak ada ikatan, ikatan hanya akan membuat kami tidak senang. Oh kami rindu saat-saat kami membaca buku bersama di taman sekolah, saat aku belum rapuh.

“Adik-adikmu tidak akan seperti itu, mereka akan datang membawa roti-roti buatan terbaik pusat kota.“

“Apa kamu sudah mengingatkan adik-adikku untuk memakai masker saat berkunjung kesini?“

“Sudah, kamu tidak usah cemas.“

“Alaska, apa kamu tahu lagu What A Wonderful World? Bisa kau nyanyikan untukku?“

“Apa yang tidak untukmu? Baiklah, aku memulainya sekarang.
I see trees of green, red roses too. I see them bloom, for me and you.  And I think to myself, what a wonderful world. I see skies of blue, and clouds of white. The bright blessed day, the dark sacred night. And I think to myself, what a wonderful world…

            Sejak kecil, aku sering dinyanyikan lagu itu oleh ibu. Lagu itu selalu spesial. Ada harapan di lirik dan nadanya.

“Terima kasih, Alaska. Menurutmu, apa penulis lagu ini menulis saat apa yang ia lihat?“

“Mungkin saja.“

“Kalau begitu,  yang ia lihat itu tempatnya dimana? Bisakah kita kesana?“

“Bisa, kalau kamu sembuh. Kemanapun akan aku bawa. Kita akan mencari tempat dimana banyak pohon hijau, mawar merah bermekaran dibawah langit yang cerah, lalu kita akan bernyanyi sampai lelah dan terlelap.“
----

“Kami datang!“ Teriak Brown dan Lily, adik-adikku.

“Brown, Lily, akhirnya kalian sampai disini juga, jangan lupa kenakan masker. Udara disini tidak baik.“, Ujar Alaska.

“Maaf, aku dan Brown lupa, kak Alaska.“, dengan sigap Lily langsung memakai masker, diikuti oleh Brown.

            Brown dan Lily, kembar tidak identik, mereka sudah besar. Aku hanya melihatnya setahun sekali, setiap liburan naik kelas mereka selalu pulang. Mereka membawakan roti dari pusat kota, yang sebelumnya roti ini selalu dibawakan oleh ibu saat uang gajiannya turun. Mereka hebat, mereka berhasil mendapatkan beasiswa dari walikota. Jadi, segala uang sekolah dan uang saku ditanggung oleh pemerintah walikota. Aku terharu saat mereka bilang kalau mereka membeli roti itu dari uang saku yang disisihkan. Aku jadi teringat ayah dan ibu. Apa mereka sudah tinggal di bukit hijau dengan pepohonan dan bunga-bunga di bawah langit yang biru?

“Kakak, bagaimana keadaanmu?“ Tanya Lily sambil menatap seluruh badanku.

“Seperti ini saja, bahkan semakin buruk. Aku semakin menyeramkan. Lihat, rambutku sudah hampir habis, badanku sudah layu mengikuti pohon-pohon diluar sana. Chemotherapy tidak membantu.”

“Jangan bilang begitu, kak. Kakak masih punya harapan, kita masih punya harapan. Kami semua mau kakak sembuh dan bersekolah lagi dengan kak Alaska.“

            Aku cuma tersenyum. Tersenyum memberi harapan pada adik-adikku dan Alaska, tapi tidak untuk diri sendiri. Sama seperti ayah dan ibu saat itu. Tersenyum kepada kami.

“Brown, Lily. Bagaimana sekolahmu? Bagaimana nilaimu?”

“Nilai kami semakin baik, kemarin Brown berhasil memenangkan lomba debat biologi. Sepertinya dia akan menjadi dokter dengan semua omongannya yang didebatkan itu hahaha.”, Ujar Lily.

“Lily terlalu melebih-lebihkan, kak! Kemarin Lily dapat juara satu menulis esai di pekan ekonomi sekolah!”

            Melihat mereka berisik seperti itu, sepertinya aku mendapat harapan. Bukan harapan untuk kesembuhanku, tapi harapan untuk masa depannya yang cerah, kota yang lebih baik.

“Sudah, jangan saling pamer seperti itu, aku kan jadi iri. Kalian ini akan menjadi orang-orang penting di kota ini. Harapan-harapan orang kota akan dipegang kalian, maju atau tidaknya kota ini tergantung kinerja orang-orang yang seperti kalian ini.“

            Mereka terharu, mereka memelukku. Aku dipeluk oleh tubuh-tubuh orang sehat. Seperti dulu saat aku memeluk ayah dan ibu.


----
“Alaska, apa aku akan sembuh dengan keadaan yang sudah seburuk ini?“

“Kamu akan sembuh, percaya padaku. Aku akan tetap disini,  bersamamu, menjagamu. Aku sudah berjanji akan terus bersamamu sampai kamu sembuh.“

“Kalau aku sembuh, apa kita bisa menikah?“

“Kesembuhanmu akan menjadi persembahanmu untukku saat pernikahan nanti.“

“Tapi seandainya penyakit ini tidak bisa disembuhkan, kamu ingin menikah dengan siapa? Kamu harus bahagia, kamu harus menikah. Kamu akan menjadi ibu yang baik.“

            Pertanyaanku terlalu mendalam, Alaska menunduk dan menangis.

“Jangan tanyakan itu, Matt. Jangan tanyakan itu lagi. Cukup.“

“Bagaimanapun juga, kamu harus memikirkannya, setelah ini, setelah aku mati. Aku tidak mau kamu sendirian. Lebih menyakitkan aku melihatmu sendirian sampai kamu mati daripada menikah dengan laki-laki lain.“

“Cukup, Matt.“, Tangis Alaska semakin terdengar, ia tidak dapat menahan lagi tangisnya itu.

“Sekarang, lihat aku. Rapuh, botak, menakutkan, tidak ber……..”

            Sesuatu dari badan menahanku menyelesaikan omongan yang aku ingin keluarkan. Omonganku diselak oleh batuk secara tiba-tiba. Batuk itu membuatku sesak, semakin sesak saat batuk itu disertai darah merah segar keluar dari mulutku. Alaska panik, segera memasang alat oksigen ke mulutku namun aku malah menyemprotkan darah ke alat itu yang membuatku susah bernafas.  Tangisan Alaska semakin kencang terdengar, semakin panik, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tangisan Alaska terdengar oleh Brown dan Lily yang sedang di teras rumah.

“Brown, Lily! Kakakmu batuk berdarah! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi!“

            Dengan segera, Brown membersihkan alat oksigen itu dengan lap dan membimbingku untuk tidak panik dan nafas perlahan. Aku berhasil bernafas kembali dengan tenang, batuk itu hilang. Lily membantu Brown dengan mengelap darah dari sekitar mulut dan badanku. Alaska masih panik di sudut kamar dan tetap menangis, seperti ada rasa penyesalan karena tidak bisa membantu apa-apa saat aku batuk-batuk tadi.

“Brown, Lily, Alaska, tolong panggilkan bibi Marie untuk pulang ke rumah sekarang. Aku ingin bicara.“

“Segera aku telepon. Aku punya nomor tempat bibi Marie bekerja.“

            Kami menunggu bibi Marie pulang ke rumah. Perjalanan dari pusat kota ke rumah sebenarnya tidak jauh, tapi bibi Marie harus menaiki bis yang rutenya selalu dilanda macet. Sekitar 2 jam bibi Marie baru sampai.

“Oh, Matt. Kamu sudah tidak apa-apa? Maafkan bibi Marie. Seperti biasa, jalanannya macet. Bibi akan masakkan sup untukkmu, lalu kamu harus minum obat.“, bibi tergesa-gesa karena panik melihat keadaanku.

“Tidak, bibi. Aku tidak mau sup, aku tidak mau obat. Mereka tidak akan menolongku saat ini. Yang aku mau adalah kalian berkumpul seperti ini.“

“Ada apa, Matt? Kamu ingin ke rumah sakit sekarang? Kalau kamu mau, bibi dan yang lain akan membawamu kesana.“

“Aku tidak mau ke rumah sakit. Keuangan keluarga sudah tidak seperti dulu lagi.. Uang peninggalan ayah dan ibu sudah habis karena biaya chemotherapy. Sebelumnya, ayah dan ibu juga sudah banyak hutang karena pengobatan kankernya. Aku tidak mau bibi berhutang lagi, sudah cukup. Bibi, Brown, Lily, dan Alaska hanya perlu mendengarkan, lebih dari cukup. Semuanya, aku cinta kalian. Bibi...., aku... mohon untuk menetap... di tempat lain. Jangan terus-terus menetap disini, para orang kaya dan pabrik-pabriknya itu semakin.... jahat. Brown, Lily, aku ....bangga pada kalian, bangga pada prestasi yang kalian peroleh. Jangan lupakan... pesan... yang beberapa jam tadi aku beritahu pada kalian tentang harapan. Jika.... kalian sudah mencapai... cita-cita yang kalian inginkan, jangan lupa... untuk urus bibi Marie, bibi Marie akan ...semakin tua. Kalian harus merawatnya.... seperti saat bibi Marie merawat kalian setelah ayah... dan ibu... meninggal. Alaska...., jangan menangis terus. Sedih memang, aku.... tidak akan menikah. Tapi.... kamu harus... menikah. Sayang sekali perempuan penyayang.... sepertimu tidak merawat anak. Laki-laki mencari perempuan yang sepertimu, maka itu.... kamu harus pandai-pandai memilih laki-laki. Semuanya...., aku berterima kasih.... karena sudah mau mendengarkan suaraku yang layu ini. Aku sudah tidak tahan..... lagi. Badanku semakin sakit. Aku seperti menerima beban berat, beban yang berat itu adalah........ meninggalkan kalian. Jika aku harus.... dikubur besok, kuburkan... aku dengan pakaian warna-warni.... Supaya orang-orang beranggapan kalau aku meninggal tanpa membawa duka lara. Terakhir..bibi Marie..kamu tahu kan kotak bolong-bolong di gudang atas dekat jendela....? Tolong ambilkan itu dan berikan pada Brown.....tolong.......oh ayah, ibu...aku rindu kalian.....“

            Nafasku semakin berat, pandanganku mulai kabur. Tapi aku masih bisa melihat bibi Marie keatas gudang mengambil kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ dan langsung memberinya kepada Brown. Sepertinya mereka mulai menangis, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku mulai tidak merasakan kakiku, aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Lalu perasaan itu menjalar ke tangan, tanganku sudah tidak bisa digerakkan. Seluruh badanku dingin. Apa nyawaku sedang di tarik? Dimana malaikat? Aku tidak melihat malaikat disekitarku. Seketika gelap. Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Semuanya gelap dan terasa hampa. Terasa dingin dan damai.

----

“Kalau aku boleh tahu, isi kotak itu apa, Matt?“

“Kamu penasaran sekali rupanya. Isi kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ itu adalah tumbuhan yang aku rawat saat aku baru divonis kanker oleh dokter. Disitu aku menuliskan Semoga. aku adalah orang terakhir yang mengidap penyakit ini. Ini adalah harapanku dan semua penduduk kota ini. ”

“Wah ternyata itu isinya. Apa disana pohon sangat langka, Matt? Rasanya aku ingin membawa beberapa pohon di sini untuk disumbang ke tempatmu berasal.”

“Di tempatku, pohon-pohon pada mati ditebangi karena pembangunan wilayah pabrik itu. Kalau bisa begitu, aku juga ingin. Seandainya aku bisa mengirim surat kepada Alaska kalau aku sudah tinggal di tempat yang banyak pepohonan, bunga bermekaran dimana-mana di bawah langit yang biru. Pasti ia akan senang.”

“Sudahlah, Matt. Kamu sudah memberi harapan pada mereka. Kamu harus percayakan mereka.”

“Terima kasih karena sudah menghiburku. Sekarang, maukah kamu bantu aku mencarikan dimana ayah dan ibuku tinggal?”

“Aku mau. Hmm, rumah tuan dan nyonya Nicholson? Aku tau tempatnya, mari ikuti aku."

No comments:

Post a Comment