Langit menggelap. Tidak tahu gelap itu
karena sudah malam, ingin hujan, atau asap-asap pabrik. Sialnya rumahku bersebelahan
dengan pabrik-pabrik itu, asap-asap hitam itu selalu menghampiri rumah kami,
bahkan terkadang masuk ke dalam. Ayah dan Ibu menolak rumahnya dipindahkan,
dengan alasan rumah ini adalah tempat dari segala tempat, tidak akan
tergantikan, ayah dan ibu juga tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli
rumah yang layak. Keluarga kami adalah keluarga pekerja keras. Ayahku bekerja
sebagai buruh pabrik, ibu dan bibi Marie bekerja sebagai penjahit di pusat
kota. Akibat kerja keras mereka, mereka berhasil menyekolahkan aku dan
adik-adikku di pusat kota, tapi kami tidak satu sekolah. Adik-adikku menetap di
asrama. Beruntungnya adik-adikku, tidak tahu kapan mereka akan mengakhiri
hidupnya. Aku akan mengakhiri hidup dengan tempat yang sama dan keadaan yang
sama seperti ayah dan ibu, yaitu tempat tidur lusuh dan kanker.
“Alaska, pergilah...ambilkan aku air
putih yang banyak....“, Mulutku sudah susah berbicara.
“Banyak-banyak untuk apa?“
“Aku malu jika adik-adikku datang,
bibirku terlihat menyeramkan.“
Alaska, teman
sekolahku yang selalu marah kalau aku melarangnya datang ke rumah. Aku takut Alaska
berakhir seperti ini aku, ayah dan ibu. Alaska bilang aku tidak usah
melarangnya, dia tidak suka hal-hal yang ia inginkan dilarang. Setiap pulang
sekolah Alaska selalu datang menggunakan masker khusus. Kami sudah menyatakan
perasaan masing-masing. Aku cinta Alaska, Alaska cinta aku. Tapi kami sepakat
untuk tidak ada ikatan, ikatan hanya akan membuat kami tidak senang. Oh kami
rindu saat-saat kami membaca buku bersama di taman sekolah, saat aku belum
rapuh.
“Adik-adikmu tidak
akan seperti itu, mereka akan datang membawa roti-roti buatan terbaik pusat
kota.“
“Apa kamu sudah
mengingatkan adik-adikku untuk memakai masker saat berkunjung kesini?“
“Sudah, kamu tidak
usah cemas.“
“Alaska, apa kamu tahu lagu What A Wonderful World? Bisa kau
nyanyikan untukku?“
“Apa yang tidak untukmu? Baiklah, aku
memulainya sekarang.
I see trees
of green, red roses too. I see them bloom, for me and you. And I think to myself, what a wonderful
world. I see skies of blue, and clouds of white. The bright blessed day, the
dark sacred night. And I think to myself, what a wonderful world…”
Sejak
kecil, aku sering dinyanyikan lagu itu oleh ibu. Lagu itu selalu spesial. Ada
harapan di lirik dan nadanya.
“Terima kasih, Alaska. Menurutmu, apa
penulis lagu ini menulis saat apa yang ia lihat?“
“Mungkin saja.“
“Kalau begitu, yang ia lihat itu tempatnya dimana? Bisakah
kita kesana?“
“Bisa, kalau kamu
sembuh. Kemanapun akan aku bawa. Kita akan mencari tempat dimana banyak pohon
hijau, mawar merah bermekaran dibawah langit yang cerah, lalu kita akan
bernyanyi sampai lelah dan terlelap.“
----
“Kami datang!“
Teriak Brown dan Lily, adik-adikku.
“Brown, Lily,
akhirnya kalian sampai disini juga, jangan lupa kenakan masker. Udara disini
tidak baik.“, Ujar Alaska.
“Maaf, aku dan Brown
lupa, kak Alaska.“, dengan sigap Lily langsung memakai masker, diikuti oleh
Brown.
Brown dan Lily, kembar tidak identik, mereka sudah besar. Aku hanya
melihatnya setahun sekali, setiap liburan naik kelas mereka selalu pulang.
Mereka membawakan roti dari pusat kota, yang sebelumnya roti ini selalu
dibawakan oleh ibu saat uang gajiannya turun. Mereka hebat, mereka berhasil
mendapatkan beasiswa dari walikota. Jadi, segala uang sekolah dan uang saku
ditanggung oleh pemerintah walikota. Aku terharu saat mereka bilang kalau mereka
membeli roti itu dari uang saku yang disisihkan. Aku jadi teringat ayah dan
ibu. Apa mereka sudah tinggal di bukit hijau dengan pepohonan dan bunga-bunga
di bawah langit yang biru?
“Kakak, bagaimana
keadaanmu?“ Tanya Lily sambil menatap seluruh badanku.
“Seperti ini saja, bahkan semakin buruk. Aku
semakin menyeramkan. Lihat, rambutku sudah hampir habis, badanku sudah layu
mengikuti pohon-pohon diluar sana. Chemotherapy
tidak membantu.”
“Jangan bilang begitu, kak. Kakak masih
punya harapan, kita masih punya harapan. Kami semua mau kakak sembuh dan bersekolah lagi
dengan kak Alaska.“
Aku cuma tersenyum. Tersenyum
memberi harapan pada adik-adikku dan Alaska, tapi tidak untuk diri sendiri. Sama
seperti ayah dan ibu saat itu. Tersenyum kepada kami.
“Brown, Lily. Bagaimana sekolahmu? Bagaimana
nilaimu?”
“Nilai kami semakin baik, kemarin Brown
berhasil memenangkan lomba debat biologi. Sepertinya dia akan menjadi dokter
dengan semua omongannya yang didebatkan itu hahaha.”, Ujar Lily.
“Lily terlalu melebih-lebihkan, kak! Kemarin
Lily dapat juara satu menulis esai di pekan ekonomi sekolah!”
Melihat mereka
berisik seperti itu, sepertinya aku mendapat harapan. Bukan harapan untuk
kesembuhanku, tapi harapan untuk masa depannya yang cerah, kota yang lebih
baik.
“Sudah, jangan
saling pamer seperti itu, aku kan jadi iri. Kalian ini akan menjadi orang-orang
penting di kota ini. Harapan-harapan orang kota akan dipegang kalian, maju atau
tidaknya kota ini tergantung kinerja orang-orang yang seperti kalian ini.“
Mereka terharu, mereka memelukku.
Aku dipeluk oleh tubuh-tubuh orang sehat. Seperti dulu saat aku memeluk ayah
dan ibu.
----
“Alaska, apa aku
akan sembuh dengan keadaan yang sudah seburuk ini?“
“Kamu akan sembuh,
percaya padaku. Aku akan tetap disini, bersamamu,
menjagamu. Aku sudah berjanji akan terus bersamamu sampai kamu sembuh.“
“Kalau aku sembuh,
apa kita bisa menikah?“
“Kesembuhanmu akan
menjadi persembahanmu untukku saat pernikahan nanti.“
“Tapi seandainya
penyakit ini tidak bisa disembuhkan, kamu ingin menikah dengan siapa? Kamu
harus bahagia, kamu harus menikah. Kamu akan menjadi ibu yang baik.“
Pertanyaanku terlalu mendalam,
Alaska menunduk dan menangis.
“Jangan tanyakan
itu, Matt. Jangan tanyakan itu lagi. Cukup.“
“Bagaimanapun juga,
kamu harus memikirkannya, setelah ini, setelah aku mati. Aku tidak mau kamu
sendirian. Lebih menyakitkan aku melihatmu sendirian sampai kamu mati daripada
menikah dengan laki-laki lain.“
“Cukup, Matt.“, Tangis Alaska semakin
terdengar, ia tidak dapat menahan lagi tangisnya itu.
“Sekarang, lihat
aku. Rapuh, botak, menakutkan, tidak ber……..”
Sesuatu dari badan menahanku
menyelesaikan omongan yang aku ingin keluarkan. Omonganku diselak oleh batuk
secara tiba-tiba. Batuk itu membuatku sesak, semakin sesak saat batuk itu
disertai darah merah segar keluar dari mulutku. Alaska panik, segera memasang
alat oksigen ke mulutku namun aku malah menyemprotkan darah ke alat itu yang
membuatku susah bernafas. Tangisan
Alaska semakin kencang terdengar, semakin panik, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tangisan Alaska terdengar oleh Brown dan Lily yang sedang di teras rumah.
“Brown, Lily!
Kakakmu batuk berdarah! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi!“
Dengan segera, Brown membersihkan
alat oksigen itu dengan lap dan membimbingku untuk tidak panik dan nafas
perlahan. Aku berhasil bernafas kembali dengan tenang, batuk itu hilang. Lily
membantu Brown dengan mengelap darah dari sekitar mulut dan badanku. Alaska
masih panik di sudut kamar dan tetap menangis, seperti ada rasa penyesalan karena
tidak bisa membantu apa-apa saat aku batuk-batuk tadi.
“Brown, Lily,
Alaska, tolong panggilkan bibi Marie untuk pulang ke rumah sekarang. Aku ingin
bicara.“
“Segera aku telepon.
Aku punya nomor tempat bibi Marie bekerja.“
Kami menunggu bibi Marie pulang ke
rumah. Perjalanan dari pusat kota ke rumah sebenarnya tidak jauh, tapi bibi
Marie harus menaiki bis yang rutenya selalu dilanda macet. Sekitar 2 jam bibi
Marie baru sampai.
“Oh, Matt. Kamu
sudah tidak apa-apa? Maafkan bibi Marie. Seperti biasa, jalanannya macet. Bibi
akan masakkan sup untukkmu, lalu kamu harus minum obat.“, bibi tergesa-gesa
karena panik melihat keadaanku.
“Tidak, bibi. Aku
tidak mau sup, aku tidak mau obat. Mereka tidak akan menolongku saat ini. Yang
aku mau adalah kalian berkumpul seperti ini.“
“Ada apa, Matt? Kamu
ingin ke rumah sakit sekarang? Kalau kamu mau, bibi dan yang lain akan
membawamu kesana.“
“Aku tidak mau ke
rumah sakit. Keuangan keluarga sudah tidak seperti dulu lagi.. Uang peninggalan
ayah dan ibu sudah habis karena biaya chemotherapy.
Sebelumnya, ayah dan ibu juga sudah banyak hutang karena pengobatan kankernya.
Aku tidak mau bibi berhutang lagi, sudah cukup. Bibi, Brown, Lily, dan Alaska
hanya perlu mendengarkan, lebih dari cukup. Semuanya, aku cinta kalian. Bibi....,
aku... mohon untuk menetap... di tempat lain. Jangan terus-terus menetap
disini, para orang kaya dan pabrik-pabriknya itu semakin.... jahat. Brown,
Lily, aku ....bangga pada kalian, bangga pada prestasi yang kalian peroleh.
Jangan lupakan... pesan... yang beberapa jam tadi aku beritahu pada kalian
tentang harapan. Jika.... kalian sudah mencapai... cita-cita yang kalian
inginkan, jangan lupa... untuk urus bibi Marie, bibi Marie akan ...semakin tua.
Kalian harus merawatnya.... seperti saat bibi Marie merawat kalian setelah ayah...
dan ibu... meninggal. Alaska...., jangan menangis terus. Sedih memang, aku....
tidak akan menikah. Tapi.... kamu harus... menikah. Sayang sekali perempuan
penyayang.... sepertimu tidak merawat anak. Laki-laki mencari perempuan yang
sepertimu, maka itu.... kamu harus pandai-pandai memilih laki-laki. Semuanya....,
aku berterima kasih.... karena sudah mau mendengarkan suaraku yang layu ini.
Aku sudah tidak tahan..... lagi. Badanku semakin sakit. Aku seperti menerima
beban berat, beban yang berat itu adalah........ meninggalkan kalian. Jika aku
harus.... dikubur besok, kuburkan... aku dengan pakaian warna-warni.... Supaya
orang-orang beranggapan kalau aku meninggal tanpa membawa duka lara.
Terakhir..bibi Marie..kamu tahu kan kotak bolong-bolong di gudang atas dekat
jendela....? Tolong ambilkan itu dan berikan pada Brown.....tolong.......oh
ayah, ibu...aku rindu kalian.....“
Nafasku semakin berat, pandanganku
mulai kabur. Tapi aku masih bisa melihat bibi Marie keatas gudang mengambil
kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ dan langsung memberinya kepada Brown.
Sepertinya mereka mulai menangis, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku
mulai tidak merasakan kakiku, aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Lalu perasaan
itu menjalar ke tangan, tanganku sudah tidak bisa digerakkan. Seluruh badanku
dingin. Apa nyawaku sedang di tarik? Dimana malaikat? Aku tidak melihat
malaikat disekitarku. Seketika gelap. Aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Semuanya gelap dan terasa hampa. Terasa dingin dan damai.
----
“Kalau aku boleh
tahu, isi kotak itu apa, Matt?“
“Kamu penasaran
sekali rupanya. Isi kotak bolong-bolong bertuliskan “Harapan“ itu adalah
tumbuhan yang aku rawat saat aku baru divonis kanker oleh dokter. Disitu aku
menuliskan Semoga. aku adalah orang terakhir yang mengidap penyakit ini. Ini
adalah harapanku dan semua penduduk kota ini. ”
“Wah ternyata itu
isinya. Apa disana pohon sangat langka, Matt? Rasanya aku ingin membawa
beberapa pohon di sini untuk disumbang ke tempatmu berasal.”
“Di tempatku,
pohon-pohon pada mati ditebangi karena pembangunan wilayah pabrik itu. Kalau
bisa begitu, aku juga ingin. Seandainya aku bisa mengirim surat kepada Alaska
kalau aku sudah tinggal di tempat yang banyak pepohonan, bunga bermekaran
dimana-mana di bawah langit yang biru. Pasti ia akan senang.”
“Sudahlah, Matt.
Kamu sudah memberi harapan pada mereka. Kamu harus percayakan mereka.”
“Terima kasih karena
sudah menghiburku. Sekarang, maukah kamu bantu aku mencarikan dimana ayah dan
ibuku tinggal?”
No comments:
Post a Comment