Wednesday, December 10, 2014

Abadi, Selamanya

“Tuhan, hari ini aku ingin melihatnya bahagia dan tersenyum. Apakah aku bisa menyapanya hari ini? Aku ingin sekali. Tapi badan ini selalu gemetar takut. Berilah aku kekuatan.”
            Doa penutup pagi ini diucapkan sungguh-sungguh olehku. Mungkin sudah beratus-ratus kali  aku mengucapkan doa penutup itu, pokoknya aku selalu berdoa seperti itu. Mungkin akan terus berdoa seperti itu, seperti ayam yang tak bosannya berkokok setiap pagi. Aku Kaisar.
“Tuhan, hari ini saya ingin melihat meja belajar kelas saya bersih dari segala bunga dan kertas berbentuk hati atau apapun. Kabulkanlah doa saya.“
            Saya sudah bosan menutup doa dengan doa yang seperti itu. Saya tidak seperti ayam yang tidak bosan berkokok seperti pagi. Saya Rona.
“Ron, sudah selesai beres-beresnya? Ayo berangkat, sebentar lagi gerbang ditutup.”
“Iya sebentar, Kai. Saya lupa membuat tugas menulis puisi yang harus dikumpul hari ini. Semalam saya kelelahan.“
“Aduh, Ron. Kenapa tidak bilang dari semalam? Ya sudah, buka folderku yang ada di desktop. Pakai puisi yang pernah aku tulis di waktu senggang. Toh tidak bakal ketahuan. Ingat ya Ron, cuma sekali ini saja.“
            Aku suka menulis puisi dan mendengarkan musik di waktu senggang. Mereka saling menginspirasi.
            Saya merasakan lega seketika dan sekaligus bersyukur karena mempunyai saudara yang baik.  Kaisar suka menulis puisi yang terinspirasi dari lirik lagu independen hasil eksplorasi internet. Kaisar selalu menunjukkan lagu hasil pencariannya kepada saya dan meminta penilaian apakah lagunya enak atau tidak. Saya dan Kaisar tinggal satu rumah, satu tempat.
            Saya sampai di sekolah tepat pukul tujuh. Gerbang hampir ditutup. Sampai di sekolah Saya langsung memakai topi agar tidak ketahuan perempuan-perempuan. Saya berhasil menembus kerumunan perempuan-perempuan itu, tapi apa daya ketika saya sampai di kelas, dengan lantang saya berteriak kalau doa saya pagi ini tidak terkabul (lagi).
 “Kenapa lagi sih Ron? Kamu pindah ke sekolah lain pun hasilnya sama. Langganan surat dan bunga setiap hari.”, celoteh Bulan.
            Bulan, teman sekelas yang tidak genit sama sekali. Ia duduk paling di depan di kelas. Kompetitor sehat saya saat mengejar nilai. Rambutnya tergerai indah, tapi Bulan tidak sama dengan perempuan-perempuan lain di sekolah yang saya sebut perempuan gatal. Bulan tidak suka barang yang pasaran. Perempuan-perempuan gatal memakai tas yang biasanya dipakai sosialita berkumpul untuk bahas arisan atau bisnis mereka, tapi Bulan tidak. Bulan memakai tas punggung kulit hitam dengan ornamen sayap di punggung tasnya. Yang lain memakai flatshoes impor, Bulan memakai boots hitam dengan merek dr.Martens. Saya yakin yang membuat sepatu itu bukan dokter.
            Ah, Bulan mendekat. Aku gemetar. Aku penasaran ingin menatap matanya namun tidak sanggup, sepasang matanya seperti matahari. Bulan, tolong menjauh dariku, menjauh tapi tidak terlalu jauh, aku mohon.
----
“Ron, apa kamu menyukai Bulan? Kalian sangat dekat.“
“Dekat itu bukan berarti saling mencinta kan, Kai? Saya dan Bulan memang dekat, tapi tidak seperti itu. Dia adalah rival Saya. Hmm, kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu cemburu dengan saya? Mengakulah Kai hahaha.“
“Sial, dengan mudahnya kamu bisa menebak apa yang ada di pikiranku. Aku mengaku. Aku mengaguminya. Aku ingin kamu membantuku.“
“Bantu apa? Mungkin saya bisa.“
“Letakkan setangkai bunga diatas mejanya dan letakkan secarik kertas ini bersamaan dengan bunga. Aku mohon.“
“Bagaimana bisa, Kai? Kami sekelas, Bulan selalu datang lebih pagi. Saya pasti gagal.“
“Kita datang lebih pagi, Ron! Cuma itu caranya! Ayolah! Aku bangunkan kamu lebih pagi besok!“
“Iya iya, kalau begitu mau kamu. Saya nurut saja. Kamu isi saja dulu kertas ini, lalu dilipat. Jangan sampai saya baca, saya mungkin akan tertawa melihat tulisanmu.“
            Aku bingung mau menulis apa untuk Bulan. Aku tidak mau menulis puisi. Terlalu berlebihan. Aku tidak mau selamanya menjadi pemuja rahasia. Aku tulis saja potongan lirik lagu. Mungkin cocok dengan pemberian pertama, sekaligus memulai hariku sebagai pemuja rahasia. Tapi tetap, aku ingin jadi pemuja, bukan pemuja rahasia.

“Sudah selesai, besok pagi kita mampir ke toko bunga di perempatan sebelum jalan raya. Ayo tidur, besok kita bangun lebih awal.“
---

“Ron, kamu memindahkan bunga dan kertas mejamu ke mejaku? Kenapa cuma satu?“ Bulan kaget karena tidak biasanya ada sesuatu di mejanya sebelum bel.

“Wah selamat, Bulan!  Saya benar-benar tidak tahu, saya baru datang.“

Saya berbohong. Padahal dari setengah jam lalu saya sudah di sekolah. Saya bersembunyi di kantin agar modus pertama Kaisar aman.

“Sekali lagi, selamat! Setidaknya kamu merasakan apa yang saya rasakan. Setiap hari ada persembahan di atas meja. Mungkin dibuka saja kertasnya, dan bacakan pada saya apa isi kertas itu.“

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust.
If you like your coffee hot, let me be your coffee pot.
Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought.
Maybe I just wanna be yours. Wanna be yours.
-Kai.
Ini seperti lirik lagu. Oh iya, Arctic Monkeys! Aku punya albumnya di rumah. Tapi siapa Kai?

Kai? Pengirim mencantumkan nama samaran? Ini harus diselidiki, Lan.”

“Ah tidak peduli. Ingin seperti kamu saja, Ron. Tidak peduli dengan surat-surat atau bunga-bunga.”

            Pemberian pertama tidak sia-sia. Rona memberitahu kalau suratnya tidak dibuang. Bulan bicara tidak peduli, tapi batinnya penasaran. Aku harus melakukan pemberian kedua. Tidak bunga, bunga hanya akan dibuang, tapi tidak cuma surat juga.

            Dua hari selanjutnya, aku sedikit memutar otak tentang apa yang akan aku beri untuknya di pemberian kedua.

“Apa lagi ini, Ron?! Kado?!” Teriak Bulan.

“Mungkin dari orang yang sama, Lan. Coba dibuka saja. Saya juga ingin lihat.“

“Lagi-lagi tulisan, tapi kali ini dengan kaset CD. Ternyata mixtape. CD yang isinya campuran lagu-lagu, seperti playlist. Ada list lagu-lagunya juga.  Lagunya banyak yang tidak aku ketahui. Pengirimnya unik, ingin berkenalan tapi aku takut juga.”

“Bulan, saya malah lebih penasaran melihat tulisan di kertas itu. Coba dibacakan.“

“Everybody's gotta love someone. But, I just wanna love you, dear.
Everybody's gotta feel something. I just wanna be with you, my dear
I know it's hard, I know it's hard, I know it's hard to be in this position
If they stop loving, I won't stop loving you. If they stop needing you, I'll still need you, my dear.
-Kais
Potongan lirik dari The Drums – Down By The Water. Lagu ini sangat menyentuh. Kebetulan aku sedang sering mendengar lagu ini. Kenapa si pengirim bisa tahu?

“Kais? Dari Kai menjadi Kais? Saya bingung.“

“Mungkin si Kais ini ingin bermain teka-teki.”

            Saya senang karena saya berhasil membantu Kaisar untuk berkenalan dengan Bulan, karena berkenalan langsung tatap muka sepertinya sulit berhubung Kaisar orangnya sangat gugup dan gampang gemetar. Saya paham. Saya salut dengan Kaisar. Memberi bunga, lalu mixtape. Besok apa? Sempat  saya tanyakan, tapi ia sibuk membuat email untuk bisa mengobrol dengan Bulan. Kaisar sudah jenuh untuk mengirim surat seperti biasanya. Saya juga malas kalau setiap hari harus bangun pagi untuk menaruh sesuatu di meja Bulan.

----

“Ron, tumben sekali tidak ada sesuatu di atas mejaku. Apa si pengirim mulai lelah? Ngomong-ngomong, mixtape yang kemarin ia beri lagunya enak-enak. Kamu harus dengar, Ron. Enak sekali. Aku makin penasaran dengan si pengirim, Kais atau entahlah siapa namanya.”

“Lelah? Kamu yakin? Apa pemuja rahasia kenal kata lelah? Tidak, Bulan. Dia tidak lelah. Dia menghubungi saya lewat email. Orangnya baik, gampang akrab. Dia sangat ingin bertemu. Kamu harus menghubunginya. kaizer@ocr.com. Sapa dia.”

            Langkah ketiga Kaisar berjalan mulus. Pekerjaan saya sudah selesai, saya tidak minta diberi imbalan apa-apa dari Kaisar. Saya ingin saudara saya senang. Rona dan Kaisar selamanya.

            Kali ini aku tak memberi apa-apa. Hanya menitipkan alamat email yang baru aku buat kemarin malam. Bulan sudah cukup penasaran ingin berkenalan denganku. Tidak lupa juga aku sangat berterima kasih pada Rona, saudara yang sangat baik. Rona dan Kaisar, kita selamanya.

            Setiap malam aku menunggu email masuk dari Bulan, tapi sudah dua hari inbox masih kosong (iklan-iklan tidak dihitung). Rona tidur lebih dahulu, aku jadi leluasa duduk didepan layar komputer, tidak diganggu Rona.
           
            Sabarku berbuah manis. Setelah empat malam menunggu akhirnya Bulan mengirim email ke alamat emailku. Bulan meminta maaf karena internetnya bermasalah dari seminggu yang lalu, baru diperbaiki tadi siang. Bulan penasaran siapa aku sebenarnya, aku berkata aku satu sekolah dengannya, Bulan semakin penasaran. Aku bilang bahwa suatu saat nanti ada saatnya kita bertemu. Aku, Rona, dan Bulan. Aku dan Bulan membicarakan banyak hal, dari lagu yang kumasukkan ke mixtape, Arctic Monkeys, The Drums, konser-konser musik, membicarakan lelucon yang ada di sekolah, kadang aku memberikan puisi yang bermaksud merayu, bahkan mengarah ke gombal. Tapi Bulan tidak menghiraukan puisiku. Kadang kita bicara serius seperti berdiskusi tentang materi-materi ujian akhir, sampai berdebat. Obrolan kami tidak terasa, kadang baru selesai jam satu pagi, kadang kurang dari jam dua belas, kadang bisa lebih dari jam dua belas. Sudah seminggu ini aku berbalas email dengan Bulan. Bulan semakin penasaran dengan aku. Aku hanya menjawab aku adalah pemuja rahasiamu. Bulan tidak perlu tahu. Tapi Bulan selalu marah jika aku bilang begitu. Bulan memberikan alasannya, setelah ujian akhir dan naik kelas Bulan harus ikut keluarganya pindah ke Manhattan, New York. Ayahnya ditempatkan disana untuk pekerjaan. Bulan sangat ingin menemuiku. Tapi aku hanya pemuja rahasia, tidak mungkin menjadi pemuja.

----

            Ujian akhir telah usai, tinggal menunggu waktu untuk pembagian laporan hasil belajar. Bulan berpamitan dengan saya, selain berpamitan Bulan juga menanyakan Kaisar. Kaisar ingin menemui Bulan, tapi Kaisar tidak bisa mengalahkan rasa takutnya untuk keluar dan menemui Bulan. Bulan berangkat ke Manhattan tiga hari lagi.  Kaisar semakin gugup dilanda rasa dilema ingin menemui Bulan atau tidak.

“Untuk Kaisar,
Aku berangkat tiga hari lagi. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Aku tidak ingin ada sebutan pemuja rahasia lagi. Aku ingin Kaisar, bukan pemuja rahasia. Obrolan kita tidak pernah membosankan, kamu orang yang menarik. Kapan kita bisa berdebat langsung tatap muka? Mungkin hanya impianku saja. Tiga hari lagi, mungkin aku tidak melihat wajahmu selamanya. Atau mungkin aku akan bertemu Kaisar yang baru di Manhattan, Kaisar yang berwajah. Tapi aku yakin Kaisar cuma satu. Maka itu, datanglah ke bandar udara tiga hari lagi. Aku mohon. Biarkan aku menghapus kata rahasia di sebutan yang kamu sering sebut itu. Aku suka bunga anggrek. Bisa bawakan aku bunga anggrek? Aku mohon.“

            Akibat email dari Bulan, Kaisar lebih suka menyendiri, kadang ia menangis, kadang hanya diam. Takut sangat menghantuinya. Saya mencoba berbicara dengannya, tapi tidak pernah berhasil. Kalau seperti ini terus, Kaisar bisa ditusuk rasa penyesalan. Kaisar begitu terus sampai pada waktu hari Bulan berangkat. Keadaan ini tidak bisa saya biarkan. Saya berlari ke toko bunga perempatan sebelum jalan raya untuk membeli setangkai anggrek. Berusaha mengejar waktu. Saya suguhkan bunga anggrek ke Kaisar. Kaisar diam hanya melihat anggrek lalu tiba-tiba Kaisar seperti menyerap energi positif dari anggrek itu.

“Ron, beri aku waktu sebentar. Aku ingin membuat sesuatu untuk Bulan.“

            Saya tidak melihat apa yang dibuat Kaisar, yang saya tahu Kaisar sudah membuat bingkisan dan surat.

“Ayo Ron, beberapa jam lagi Bulan akan berangkat, kita harus kejar waktu.“

            Kami segera lari ke halte dan menaikki bis ke arah bandara. Semoga tidak terlambat.
----
            Rona berlari ke arah tempat keberangkatan dan mencari Bulan. Rona menemukan Bulan  sudah memakai jaket dan menarik koper yang sangat besar sedang bersama Ayah dan Ibunya. Dengan izin kedua orangtuanya, Rona menarik tangan Bulan ke tempat duduk yang jauh dari orangtuanya.

“Ada apa, Ron? Aku kan sudah pamitan. Apa kamu mau minta oleh-oleh dari New York? Jersey Basket? Aku kembali ke Indonesia masih lama, Ron. Tidak apa-apa?”

“Bukan. Bukan itu, Bulan. Saya ingin memberitahumu sesuatu.”

“Apa, Ron?”

“Saya membawa Kaisar ke sini.”

“Kaisar? Mana dia? Cepat beritahu aku!”

“Kamu harus sabar, dia orangnya sangat pemalu. Saya sudah memanggil Kaisar.”

“Dimana orangnya, Ron?!”

            Rona menunduk, memejamkan mata. Bulan sempat bingung melihat Rona yang tiba-tiba seperti itu lalu membuka matanya. Raut muka Rona menjadi tidak biasanya, agak pucat, dan menatap mata Bulan. Tatapan itu tidak lama, Rona segera menunduk kembali., tapi kali ini menunduk bersama tetesan air mata.

“Rona? Kamu sakit?”

“Aku sakit? Tidak, aku tidak sakit. Aku Kaisar. Aku pemuja rahasiamu, Bulan. Aku sangat memujamu.“ Suara yang dikeluarkan Rona berubah menjadi agak nyaring, sudah bukan suara Rona yang dikenal lagi.

“Kaisar? Ron, apa kamu bercanda?“

“Aku tidak bercanda, Bulan. Aku Kaisar. Aku beranikan diri untuk bertemu denganmu. Sekarang aku disini, membawakan anggrek sebagai hadiah perpisahan untukmu. Maukah kamu memberikan hadiah perpisahan untukku? Aku sangat ingin merasakan pelukan.“

            Bulan masih tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Yang ia lihat adalah Rona, tapi ia yakin yang sedang berbicara dengannya adalah Kaisar. Sangat yakin. Dengan kebingungan Bulan memeluk Rona.

“Terima kasih, Bulan. Aku bahagia. Aku bisa mengalahkan rasa takutku untuk keluar dan bertemu denganmu. Terima kasih. Kaisar, Bulan, Abadi.“

            Bulan terdiam, masih tidak mengerti apa yang dikatakan Rona. Bulan meneteskan air mata. Mengucapkan terima kasih pada Kaisar untuk anggrek yang dibawanya, Bulan meminta Kaisar agar tetap berkabar melalui email, tapi Kaisar tidak menjawab. Rona memejamkan matanya.

“Ron, Aku senang. Terima kasih Ron karena telah membawaku kesini. Tolong beri bingkisanku pada Bulan, sekaligus bacakan suratku untuk kalian.“ Bisik Kaisar pada Rona dengan suara lemah.

            Mata Rona terbuka kembali dengan raut muka yang sedia kala. Melepas pelukan Bulan, memberikan bingkisan kepada Bulan dan membacakan surat untuk mereka.

“Untuk Rona,
Hadiah ini aku beri untukmu sebagai hadiah perpisahan, isinya adalah dua buah gelang kayu. Aku harap kamu pakai gelang itu menemani hari-harimu yang penuh aktivitas. Beri satu lagi gelang itu untuk yang aku puja, Bulan. Aku sangat berterima kasih kepadamu karena sudah menumpang di rumah dan tempatmu selama bertahun-tahun. Terima kasih juga karena kamu selalu bilang kalau aku adalah saudaramu. Aku sampai saat ini tidak tahu aku ini sebenarnya siapa. Kepribadiaan kedua? makhluk halus yang menempel dibadanmu? Kamu selalu tidak mau membicarakan wujud tubuhku karena hal itu akan membingungkan kita berdua. Yang kamu bilang padaku bahwa aku harus terus ingat bahwa kita adalah saudara, bukan yang lain. Kita saudara.
Rona, Sudah saatnya aku pergi dari tempatmu, aku dan kamu semakin besar. Kita harus hidup sendiri-sendiri, kamu harus mencapai cita-cita.

Untuk Bulan,
Kali ini aku akan tidak akan mengutip lirik lagu. Aku akan memberimu puisi pendek yang aku tulis untukmu.
Karena hanya dengan perasaan
Rinduku yang dalam padamu
Kupertahankan hidup
Maka hanya dengan jejak-jejak hatimu
Ada artiku telusuri hidup ini
Selamanya hanya ku bisa memujamu
Selamanya hanya ku bisa merindukanmu

Aku pamit, aku pergi. Terima kasih, Rona, Bulan. Aku akan merindukan kalian. Jika kalian rindu denganku, pandangi saja gelang itu. Tidak usah pikirkan aku, aku sudah bahagia. Selamat tinggal. Kaisar, Rona, kita selamanya. Kaisar, Bulan, kita abadi.

Tambahan: Jika tidak keberatan, Aku percayakan Bulan padamu, Rona. Kalian cocok.“

*cerpen ini terinspirasi dari lagu Sheila On 7 - Pemuja Rahasia

1 comment: