Wednesday, November 30, 2016

Wujud Nyata Peringatan Hari Guru

Oleh Ilham Fauzie
Mahasiswa sastra Indonesia UNJ


            “Mengajar anak-anak Indonesia saya anggap bagian yang tersuci dan penting.”. begitulah perkataan Tan Malaka tentang guru dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara. Betapa mulianya profesi guru, sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru di kehidupan ini. Presiden, jendral, menteri-menteri, bahkan guru sekalipun ada karena jasa para guru. Profesi orang-orang saat ini adalah karena jasa guru itu sendiri. Karena pentingnya dan betapa mulianya profesi guru, dicetuskan peringatan hari guru nasional setiap tahun pada tanggal 25 November.

            Hari guru nasional diperingati setiap tanggal 25 November karena bersamaan dengan hari ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Seluruh instansi pendidikan di Indonesia merayakan peringatan ini dengan berbagai macam cara, begitu juga di UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Para calon guru yang menuntut ilmu di kampus ini merayakan peringatan hari guru nasional dengan mengadakan Pagelaran Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Gelar Diksi) yang bertema “Berbagi kasih dan ciptakan kebahagiaan dengan pendidikan” pada tanggal 28 November 2016 yang diadakan di Aula Maftuchah Yusuf UNJ oleh BEMP (Badan Eksekutif Mahasiswa Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ. Walaupun acara baru dimulai selepas maghrib, peserta acara pagelaran ini tetap antusias mengikuti acara. Acara ini berisi penampilan dari komunitas-komunitas di Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, penghargaan mahasiswa berprestasi prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia UNJ, peluncuran buku 101 Tentang Guru Jilid 1, dan ditutup oleh penampilan Barsena Besthandhi sebagai bintang tamu. Kabarnya, jumlah pemasukan dari penjualan tiket pagelaran ini disumbangkan ke Komunitas Difabel Jakarta.

            Pagelaran yang berisi penampilan-penampilan sebenarnya biasa saja. Kita bisa mengadakan pagelaran kapan saja, bukan hanya di hari guru nasional. Namun yang menarik dan menjadi wujud nyata peringatan hari guru bukanlah pagelarannya, tapi peluncuran bukunya. Buku 101 Tentang Guru Jilid 1 adalah sebuah karya kolektif milik mahasiswa prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia UNJ. Buku ini adalah kumpulan puisi yang ditulis oleh para calon guru dari prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, berisi puisi-puisi bagaimana pandangan mereka menjadi seorang guru, tanggung jawab mereka sebagai guru nantinya, dan lain-lain. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Jagad Abjad. Buku ini belum dijual secara masif, hanya bisa dibeli lewat mahasiswa prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia UNJ. “Tujuan buku ini adalah untuk memperingati hari guru nasional, mengapresiasi perjuangan para guru, serta menambah bacaan siswa SD, SMP, dan SMA.“. tutur Iqbal, salah satu mahasiswa prodi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia UNJ yang turut serta menulis puisi dalam buku ini.


            Mereka para calon guru menggagas konsep ini dengan baik. Para calon guru yang menulis puisi di buku ini mempunyai alasannya masing-masing mengapa mereka tergerak menulis buku ini. Menurut Iqbal, alasan ia tergerak menulis puisi untuk buku ini karena ia adalah seorang calon guru. “Saya ini calon guru, di mana guru itu sosok yang harus digugu dan ditiru. Lewat tulisan saya di buku ini, saya ingin merubah pola pikir masyarakat tentang guru.”.Inilah yang dimaksud memaknai peringatan. Upacara, memberi pidato, berolahraga bersama guru setelah upacara adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh banyak instansi pendidikan, tapi tidak dengan Iqbal dan kawan-kawan. Menulis puisi bersama-sama kemudian diterbitkan adalah cara mereka memaknai peringatan dan cara mereka memberi wujud nyata peringatan hari guru karena memberi sumbangan berupa tulisan bukan sekadar merayakan peringatan dan mengabadikan momen, tapi tulisan yang sejatinya susah lekang dari ingatan.

Peluncuran buku 101 Tentang Guru Jilid 1 yang dipimpin oleh Rahmah Purwahida, M.Hum. selaku pembimbing BEMP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Saturday, November 5, 2016

Reaksi Penindasan Pada Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer Dan Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi

         Perempuan merupakan hal yang tak pernah luput untuk dibahas, baik dalam bidang sosial politik, ekonomi, agama, budaya sampai sastra. Dari sekian banyak sajian, perempuan menjadi salah satu sajian yang tidak akan ada habisnya diperbincangkan dalam sebuah karya sastra. Perempuan menjadi tema-tema dari sebagian besar karya sastra yang ada di dunia. Dalam sejarah sastra Indonesia, keberadaan perempuan memiliki pengaruh sebagai salah satu pilihan tema yang paling banyak dipilih sebagai karya sastra terutama dalam bentuk cerpen, roman dan novel. Karya sastra tersebut banyak mengangkat kisah-kisah yang diperankan oleh perempuan.

            Salah dua dari sekian banyak novel yang bersudut pandang seorang perempuan adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Kedua novel ini memiliki permasalahan yang sama yaitu dominasi patriarki pada budaya timur yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Dominasi patriarki dalam dunia sastra memberikan pengaruh terhadap cara pandang dan penempatan perempuan sebagai tokoh utama. Sebagai contoh, perempuan ditempatkan sebagai tokoh yang memiliki ciri khas yakni sifat “keperempuannya” yang tidak berdaya, lemah lembut, penurut, pasrah, baik hati dan lain sebagainya.
            
            Sebagai gambaran sifat perempuan yang tidak berdaya, lemah lembut, penurut, pasrah,  kedua tokoh utama novel ini hampir mengalami penindasan yang sama. Penindasan pendidikan, norma, pernikahan, hak yang dialami kedua tokoh utama novel tersebut berasal dari dominasi patriarki tadi, di mana posisi perempuan selalu ada di bawah laki-laki dan tidak bisa berubah. Namun apabila ditelisik lebih lanjut, kedua novel ini sama-sama memiliki klimaks, tapi salah satu novel menawarkan sesuatu yang menurut saya menjadi perbedaan dari novel yang satunya lagi. Serupa tapi tak sama.

            Singkat cerita, Gadis Pantai yang pasrah dicerai karena anaknya bukan laki-laki, Gadis Pantai bermaksud meninggalkan gedung batu dan ingin membawa anak itu hidup di kampung nelayan. Bendoro tidak mengizinkan keinginannya, akhirnya Gadis pantai menyerahkan bayi itu pada Bendoro. Tapi anak perempuan mereka tak disentuh juga oleh Bendoro. Gadis pantai berontak, dan baru kali ini ia berontak terhadap Bendoro. Hingga akhirnya ia di usir dan dipukul oleh Bendoro. Ia menangis, dan ia berdarah-darah. Di perjalanan pulang ke kampung nelayan, Gadis Pantai memilih untuk tidak pulang ke kampung nelayan karena memikirkan tanggapan masyarakat kampung nelayan akan nasibnya, ia pergi mencari wanita tua yang dulu mengurusnya di Blora. Cerita selesai.

            Lain hal dengan Gadis Pantai, Perempuan Di Titik Nol memberi penawaran yang lain. Di samping mendapat perlakuan yang keras dari ayahnya sendiri, Firdaus semasa kecil sudah digerayangi tubuhnya oleh kawan mainnya, Muhammadain. Kemudian, Firdaus dilecehkan pamannya sendiri, dipinang waktu usia muda sekaligus diperlakukan kasar oleh Syeikh Mahmoud, ditiduri Bayoumi bersama teman-temannya dengan cuma-cuma, lalu dimanfaatkan tubuhnya oleh Sharifa menjadi ‘pelacur gratisan’ untuk mencari uang. Setelah melarikan diri dari Sharifa, pada tengah malam Firdaus bertemu polisi yang ingin memakai tubuhnya dengan imbalan satu pon serta ancaman dibawa ke kantor polisi jika menolak. Setelah polisi itu meninggalkannya tanpa memberinya uang satu pon yang telah dijanjikan, hujan turun. Kemudian seorang lelaki bermobil menawarkan tumpangan. Lelaki itu membawa Firdaus ke rumahnya yang mewah, memandikannya, dan menidurinya. Pagi harinya, saat Firdaus akan pergi, lelaki itu memberinya sepuluh pon. Uang pertama yang ia hasilkan dari ‘pekerjaan’-nya. Cerita belum selesai. Sepuluh pon itu lah yang menjadi titik balik seorang Firdaus.

            Firdaus sadar bahwa tidak selamanya ia harus pasrah dengan sistem yang ada. Berkat sepuluh pon itu, keberanian dan kepercayaan diri Firdaus mulai tumbuh. Ia mulai berani menolak dan memilih lelaki yang diinginkannya, dan memasang harga yang mahal atas tubuhnya. Firdaus merasa memiliki kebebasan, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan selama dua puluh tahun hidupnya. Ia kemudian menjadi pelacur yang sukses, yang memiliki sebuah apartemen, seorang koki, seorang ‘manajer’, rekening bank yang terus bertambah, waktu senggang untuk bersantai atau jalan-jalan, serta kawan-kawan yang ia pilih sendiri.
            Titik balik itu lah yang menjadi pembeda dengan novel Gadis Pantai. Selama hidupnya Firdaus hanya ditindas, direbut hak-haknya, tidak merasa bebas. Berkat sepuluh pon, pelan-pelan ia merasa mendapatkan kehormatan dan kebebasannya. Dulu yang tertindas, sekarang menjadi yang menindas. Menjadi pelacur adalah cara Firdaus menindas laki-laki walaupun pada sudut pandang lain menjadi pelacur adalah pekerjaan hina sehina-hinanya perempuan. Tapi dilihat lagi, konsep pelacur itu hadir karena kebutuhan nafsu laki-laki itu sendiri. Hal ini lah yang dilihat Firdaus sebagai peluang. Tubuhnya tidak lagi gratis, harga tubuhnya tinggi. Hanya laki-laki beruang yang bisa tidur dengan Firdaus. Bahkan sampai akhir cerita Firdaus dihukum mati setelah membunuh lelaki bernama Marzouk, seorang germo serakah. Firdaus mendapatkan keberanian menusuk Marzouk karena kebebasan, kehormatan dan haknya terancam kembali. Firdaus tidak ingin penindasan dialaminya lagi.

            Itu lah perbedaan yang menurut saya terlihat pada novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi, di mana perbedaan itu terletak pada reaksi terhadap penindasan kedua tokoh utama novel. Gadis Pantai tetap pada sifatnya yang pasrah, namun reaksi tokoh Firdaus berupa penindasan balik terhadap laki-laki. Di samping perbedaan, kedua novel ini sama-sama memiliki dampak terhadap pembaca yang menurut saya dengan cara Pram dan Nawal menyentuh pembaca bagaimana kebudayaan timur masih sarat dengan diskriminasi dan penindasan walaupun kampanye-kampanye kesetaraan sudah terdengar di mana-mana.

Jakarta Hebat 9

Bersihkan diri
Sucikan hati
Di hari yang fitri

Buka lembaran baru
Sambut hari baru
Dengan warga baru

Jakarta Hebat 8

Pembeli dibodohi pedagang
Sudah biasa
Warga dibodohi calon pemimpin
Sudah biasa
Direktur dibodohi uang
Sudah biasa
Warga dibodohi telepon pintar

                          dibodohi?

telepon?

                           pintar?

sudah biasa?

Jakarta Hebat 7

Anakku di ranjang

Anakku ngangkang

Anakku lepas kutang

Sama laki orang

Demi bayar hutang

Anakku sayang

Anakku malang