Perempuan
merupakan hal yang tak pernah luput untuk dibahas, baik dalam bidang sosial
politik, ekonomi, agama, budaya sampai sastra. Dari sekian banyak sajian, perempuan
menjadi salah satu sajian yang tidak akan ada habisnya diperbincangkan dalam
sebuah karya sastra. Perempuan
menjadi tema-tema dari sebagian besar karya sastra yang ada di dunia. Dalam
sejarah sastra Indonesia, keberadaan perempuan memiliki pengaruh sebagai salah
satu pilihan tema yang paling banyak dipilih sebagai karya sastra terutama
dalam bentuk cerpen, roman dan novel. Karya sastra tersebut
banyak mengangkat kisah-kisah yang diperankan oleh perempuan.
Salah dua dari sekian banyak novel yang bersudut pandang seorang perempuan adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Kedua novel ini memiliki permasalahan yang sama yaitu dominasi patriarki pada budaya timur yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Dominasi patriarki dalam dunia sastra memberikan pengaruh terhadap cara pandang dan penempatan perempuan sebagai tokoh utama. Sebagai contoh, perempuan ditempatkan sebagai tokoh yang memiliki ciri khas yakni sifat “keperempuannya” yang tidak berdaya, lemah lembut, penurut, pasrah, baik hati dan lain sebagainya.
Salah dua dari sekian banyak novel yang bersudut pandang seorang perempuan adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi. Kedua novel ini memiliki permasalahan yang sama yaitu dominasi patriarki pada budaya timur yang mengakibatkan ketidakadilan gender. Dominasi patriarki dalam dunia sastra memberikan pengaruh terhadap cara pandang dan penempatan perempuan sebagai tokoh utama. Sebagai contoh, perempuan ditempatkan sebagai tokoh yang memiliki ciri khas yakni sifat “keperempuannya” yang tidak berdaya, lemah lembut, penurut, pasrah, baik hati dan lain sebagainya.
Sebagai gambaran sifat perempuan
yang tidak berdaya, lemah lembut, penurut, pasrah, kedua tokoh utama novel ini hampir mengalami
penindasan yang sama. Penindasan pendidikan, norma, pernikahan, hak yang
dialami kedua tokoh utama novel tersebut berasal dari dominasi patriarki tadi,
di mana posisi perempuan selalu ada di bawah laki-laki dan tidak bisa berubah.
Namun apabila ditelisik lebih lanjut, kedua novel ini sama-sama memiliki
klimaks, tapi salah satu novel menawarkan sesuatu yang menurut saya menjadi
perbedaan dari novel yang satunya lagi. Serupa tapi tak sama.
Singkat cerita, Gadis Pantai yang
pasrah dicerai karena anaknya bukan laki-laki, Gadis Pantai bermaksud
meninggalkan gedung batu dan ingin membawa anak itu hidup di kampung nelayan.
Bendoro tidak mengizinkan keinginannya, akhirnya Gadis pantai menyerahkan bayi
itu pada Bendoro. Tapi anak perempuan mereka tak disentuh juga oleh Bendoro.
Gadis pantai berontak, dan baru kali ini ia berontak terhadap Bendoro. Hingga
akhirnya ia di usir dan dipukul oleh Bendoro. Ia menangis, dan ia berdarah-darah.
Di perjalanan pulang ke kampung nelayan, Gadis Pantai memilih untuk tidak
pulang ke kampung nelayan karena memikirkan tanggapan masyarakat kampung
nelayan akan nasibnya, ia pergi mencari wanita tua yang dulu mengurusnya di
Blora. Cerita selesai.
Lain hal dengan Gadis Pantai, Perempuan Di
Titik Nol memberi penawaran yang lain. Di samping mendapat perlakuan yang
keras dari ayahnya sendiri, Firdaus semasa kecil sudah digerayangi tubuhnya
oleh kawan mainnya, Muhammadain. Kemudian, Firdaus dilecehkan pamannya sendiri,
dipinang waktu usia muda sekaligus diperlakukan kasar oleh Syeikh Mahmoud,
ditiduri Bayoumi bersama teman-temannya dengan cuma-cuma, lalu dimanfaatkan
tubuhnya oleh Sharifa menjadi ‘pelacur gratisan’ untuk mencari uang. Setelah
melarikan diri dari Sharifa, pada tengah malam Firdaus bertemu polisi yang
ingin memakai tubuhnya dengan imbalan satu pon serta ancaman dibawa ke kantor
polisi jika menolak. Setelah polisi itu meninggalkannya tanpa memberinya uang
satu pon yang telah dijanjikan, hujan turun. Kemudian seorang lelaki bermobil
menawarkan tumpangan. Lelaki itu membawa Firdaus ke rumahnya yang mewah,
memandikannya, dan menidurinya. Pagi harinya, saat Firdaus akan pergi, lelaki
itu memberinya sepuluh pon. Uang pertama yang ia hasilkan dari ‘pekerjaan’-nya.
Cerita belum selesai. Sepuluh pon itu lah yang menjadi titik balik seorang
Firdaus.
Firdaus sadar bahwa tidak selamanya
ia harus pasrah dengan sistem yang
ada. Berkat sepuluh pon itu, keberanian dan kepercayaan diri Firdaus mulai
tumbuh. Ia mulai berani menolak dan memilih lelaki yang diinginkannya, dan
memasang harga yang mahal atas tubuhnya. Firdaus merasa memiliki kebebasan,
sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan selama dua puluh tahun
hidupnya. Ia kemudian menjadi pelacur yang sukses, yang memiliki sebuah
apartemen, seorang koki, seorang ‘manajer’, rekening bank yang terus bertambah,
waktu senggang untuk bersantai atau jalan-jalan, serta kawan-kawan yang ia
pilih sendiri.
Titik
balik itu lah yang menjadi pembeda dengan novel Gadis Pantai. Selama hidupnya Firdaus hanya
ditindas, direbut hak-haknya, tidak merasa bebas. Berkat sepuluh pon, pelan-pelan ia merasa mendapatkan
kehormatan dan kebebasannya. Dulu yang tertindas, sekarang menjadi yang
menindas. Menjadi pelacur adalah cara Firdaus menindas laki-laki walaupun pada
sudut pandang lain menjadi pelacur adalah pekerjaan hina sehina-hinanya
perempuan. Tapi dilihat lagi, konsep pelacur itu hadir karena kebutuhan nafsu
laki-laki itu sendiri. Hal ini lah yang dilihat Firdaus sebagai
peluang. Tubuhnya tidak lagi gratis, harga tubuhnya tinggi. Hanya laki-laki
beruang yang bisa tidur dengan Firdaus. Bahkan sampai akhir cerita Firdaus
dihukum mati setelah membunuh lelaki bernama Marzouk, seorang germo serakah. Firdaus mendapatkan keberanian menusuk Marzouk karena
kebebasan, kehormatan dan haknya terancam kembali. Firdaus tidak ingin
penindasan dialaminya lagi.
Itu lah
perbedaan yang menurut saya terlihat pada novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi, di mana perbedaan
itu terletak pada reaksi terhadap penindasan kedua tokoh utama novel. Gadis
Pantai tetap pada sifatnya yang pasrah, namun reaksi tokoh Firdaus berupa
penindasan balik terhadap laki-laki. Di samping perbedaan, kedua novel ini
sama-sama memiliki dampak terhadap pembaca yang menurut saya dengan cara Pram
dan Nawal menyentuh pembaca bagaimana kebudayaan timur masih sarat dengan
diskriminasi dan penindasan walaupun kampanye-kampanye kesetaraan sudah
terdengar di mana-mana.
No comments:
Post a Comment