Thursday, March 24, 2016

Perihal Berputar

sekian lama kuputar-putar kata untuk dirangkai

dan lagu yang memanggilmu masih terus berputar

tapi punggungmu tidak kunjung berputar

apa aku yang harus memutar punggung

dan melihat siapa yang menunggu punggungku berputar?

-

aku akan tetap berputar pada poros dan jarak yang kau kehendaki

walau kau bukan matahari

dan aku bukan planet.

Pennyworth, Simbol Kesetiaan

tinggal di istana
mengabdi pada tuannya
rawat anak kelelawar yatim piatu
sebesar apapun rumitnya ia bantu

hingga sang anak menjadi kelelawar dewasa yang tangguh
ia tetap terjaga dari malam sampai subuh
kadang melepas sakit
agar sang kelelawar kembali bangkit

hari ke hari ia semakin menua
tapi ia akan terus di gua
menjadi mata ketiga sang hantu Gotham
menghantam jahanam


(sebuah ode untuk Alfred Pennyworth.)

Wednesday, March 23, 2016

Selamat Hari Ayah?

13 November 2015,

hari ini ini di waktumu aku yakin kau sudah menjadi ayah yang hebat
didampingi istri yang hebat
dikelilingi anak-anak yang juga hebat.

kau bersikeras: "kau harus menjadi aku, ayah yang hebat."
kau tahu di waktuku adalah jalan yang berat untuk menuju kau
tanpa sosok dan peran ayah seperti seperti kau yang menyayangi istri dan anak-anaknya.

jangan cemaskan aku, kau rayakan saja hari ini
bila istri dan anak-anakmu lupa akan hari ini
peluk dan cium mereka akan kuwakilkan pada tulisan ini
tersenyumlah karena di waktuku, ibu tersenyum melihat kau yang sudah menjadi hebat.

selamat hari ayah, kau.

Manusia Yang Utuh

di antara rak-rak buku
dua pasang mata akhirnya bertemu
senyumku malu
kau temukan aku yang masih takut membunuh malu

dalam gelap, ia lengah
kubunuh malu dengan mudah
kudekap tangan kau yang sedikit basah

"apakah ini kesenangan yang lama kurindukan?", kutanya tuhan dengan pasrah

semakin malam kita didekatkan dengan dua gelas kopi
duduk menepi tapi enggan menyepi
sambil meyakinkan diri kalau ini bukan sebatas imaji

denganmu, aku merasa lebih menjadi manusia yang utuh
yang tiba-tiba menjadi lemah bila kau sentuh
sentuh lagi
dan lagi

sebelum tidur, ada yang masuk ke dalam kamarku
melalui pintu, lalu menuju pikiranku
kami berkenalan, ia bernama Rindu.

Aku Kucing Yang Tertidur Pulas Di Bawah Pohon Rindang

penghujan datang, kau datang
membawa riang, menghapus lengang
bertukar pikiran dan cerita, aku senang
semakin hari semakin aku tahu
ada awan gelap yang mengganggu kepalamu
awan gelap yang kadang mengalirkan air tetesannya lewat sepasang mata pada malam
tidak ada yang bisa memaksa awan gelap itu pergi
awan gelap akan pergi dengan sendirinya
begitu juga awan gelap yang pernah menghampiriku

sementara aku menunggu awan gelap itu pergi dari kepalamu
aku sedang menata kembali rumah pada bahu dan tanganku
yang kelak akan kau singgahi dan kau akan menetap di sana

denganmu, aku tanah kemarau yang disirami hujan
denganmu, aku kucing yang tertidur pulas di bawah pohon rindang
aku tumbuh

aku teduh.

12:50 AM

kita gemar menghabiskan waktu tanpa menghabiskan kopi dan teh yang kita minum
sambil melihat lampu-lampu bergerak ibukota
di sudut ruang yang sepi pun kita bisa menciptakan ramai berkata-kata
matamu mataku mereka enggan berpapasan tapi enggan berpisah
tanganmu tanganku mereka lebih jujur; senang berdekatan dan enggan berpisah

kau balikkan punggungmu melempar senyum-senyum itu
senyum-senyum malu melihat tingkah laku
apa daya
aku menjadi dungu mengagumi senyummu

tapi di sela kejujuran tanganmu dan senyum-senyum itu
terasa ada yang mengganggu; ya, kecemasanmu yang melihatku menunggu
kabut lalu yang kadang mengganggu
kau, induk dari rindu-rindu yang kadang seenaknya mengetuk pintu kamarku
jangan merasa biru, aku bersamamu
ada atau tidak ada kelabu aku akan terus melagu
genggam pena
memberi makna
tidak ada yang pergi
aku dan sajak-sajakku akan terus di sini
dan tidak ada alasan untuk bergegas
jika aku dan sajak-sajakku sudah menemukan tempat yang pantas.

Melatonin

kita menyatukan hitam pada malam kemarin
melupakan hitam pada malam ini
melupakan kita pada malam esok

kata-kata ini bukan lagi ode atau rapsodi yang berbunga-bunga
kata kata ini adalah bagaimana abu pernah menjadi kayu
asap pernah menjadi api, lawan pernah menjadi kawan
mati pernah menjadi hidup, sepi pernah menjadi ramai
gelap pernah menjadi terang, abai pernah menjadi peduli

bukan urusanku apakah kata-kata ini mau kau kubur,
kau bakar atau kau simpan bersama benda-benda berdebu itu
urusanku adalah bagaimana kata-kata ini bisa menjelma ayat yang menuntutku

untuk tetap tinggal, meski tetap terabai.

Laut

di awal hanya memandangmu meneriakkan biru
lalu kaki tersapu gelombangmu
menarik tubuh agar lebih dalam meraihmu

birumu memikat
tubuhku terpikat
semakin ke tengah semakin aku terikat
aku menyelam tinggalkan darat

selam lebih dalam
hadirlah kelam
yang tak bisa aku genggam
mengantarku pada karam

kau berontak
sukmaku retak
maut
hanyut
larut


kau adalah laut yang gagal aku selami.

Bila Ucap Mereka

Bila ucap mereka aku bodoh
aku memang bodoh karena enggan menerima pelajaran
pelajaran bagaimana cara memberimu kehilangan
Dalam perihal itu aku ingin bodoh seumur hidup.

Bila ucap mereka bahagia datang dari diri sendiri
lalu bolehkah aku tinggal di salah satu ruang ingatanmu?
Di mana pun ruang itu
biarkan aku tinggal di situ
Rawat lukamu
Hapus ragumu
karena bahagiamu satu-satunya lilin menyala
yang harus aku jaga di ruang gelapmu
dan menjaga bahagiamu adalah satu-satunya api 
yang membuat lilin di ruang gelapku tetap menyala.

Anekdot: Berlayar

Di sebuah kapal layar, ada seorang kapten bernama Kapten John, seorang awak kapal bernama Ben, orang Amerika, Jepang, Arab, dan Indonesia.
            Kapten John adalah seorang kapten kapal yang tegas dan selalu waspada, lain dengan awaknya yang malas. Si awak kapal bekerja sangat lamban karena selalu meneguk bir sampai mabuk. Sisa dari penumpang kapal itu adalah perwakilan-perwakilan dari negaranya masing-masing. Mereka berenam sedang berlayar ke sebuah negara rawan konflik untuk melakukan misi perdamaian.
            Saat berlayar di tengah samudra, hal yang tidak tertuga terjadi. Kapal layar menabrak karang yang besar dan tajam sehingga membuat sisi bawah kapal bolong. Air memasuki geladak kapal, perlahan-lahan kapal mulai tenggelam. “Kita akan melakukan pengurangan muatan. Aku perintahkan kalian untuk membuang barang bawaan kalian sebagian supaya kapal ini tidak tenggelam!“, Kapten John berteriak.
            Para perwakilan negara-negara mulai melaksanakan perintah dari Kapten John. Orang Amerika bergegas membuang barang bawaannya ke laut.“Hei Amerika, kenapa kau buang senjata-senjata itu?“, tanya Kapten John. “Senjata-senjata itu ada banyak di negaraku, Kapten. Tidak masalah.“ Setelah orang Amerika membuang senjata-senjatanya ke laut, orang Jepang menyusul. Orang Jepang membuang besi dan baja dengan alasan yang sama, di negaranya tidak pernah kehabisan besi dan baja. Melihat orang Amerika dan Jepang membuang barang bawaannya, orang Arab juga langsung menggulingkan drum-drum minyak ke arah pinggir perahu. “Hai Ben si awak pemalas, bantu aku membuang drum minyak ini ke laut! Drumnya sangat berat! Aku buang drum-drum ini karena negaraku kaya akan minyak!“, teriak orang Arab. “Aku tidak mau. Suruh saja si orang Indonesia itu. Aku sedang tidak sanggup mengangkat yang berat-berat.”, jawab Ben. Orang Indonesia yang melihat orang Arab sedang kesusahan langsung membantunya membuang drum-drum minyak ke laut. “Dasar pemalas!“, orang Indonesia mengejek Ben.
             Sesudah orang Amerika, Jepang, dan Arab melakukan perintah kapten, tinggal orang Indonesia yang belum membuang barang bawaannya. Yang ia bawa adalah bahan-bahan makanan. Kapten John menegur orang Indonesia yang sedang bingung, “Hei Indonesia, cepat buang barang-barangmu atau kita akan mati tenggelam!”. Orang Indonesia semakin bingung, ia berpikir keras. Bukannya menuju ke tempat barang bawaan, orang Indonesia malah menghampiri Ben. “Sekali lagi maaf, Ben“, ucap orang Indonesia yang langsung membuang Ben ke laut. Kapten John marah. “Bodoh! Kenapa kau buang awak kapalku?“. Dengan lantang, orang Indonesia menjawab “Orang malas seperti Ben ini ada banyak di negara saya, Kapten John. Dari pada saya harus membuang makanan-makanan yang saya bawa, lebih baik saya buang Ben. Dipikir-pikir berat antara barang bawaan saya dan berat badan Ben tidak berbeda jauh. Kalau pun kita selamat, bagaimana kita bisa lanjut hidup jika kita tidak makan?“. Semua terdiam termasuk Kapten John.

            Setelah orang Indonesia membuang Ben, kapal tidak lagi kelebihan muatan. Orang Indonesia dan orang Jepang langsung menambal bagian bawah kapal yang bolong tadi. Mereka selamat dari bahaya dan berhasil sampai di negara yang mereka tuju.